Provinsi Sulawesi Tenggara
Nama Resmi : Kota Kendari
Ibukota : Kendari
Luas Wilayah: 295,89 km²
Jumlah Penduduk: 226.056 Jiwa
Wilayah Administrasi:Kecamatan : 6
Walikota : Ir. H. ASRUN, M.Eng, Sc.
Wakil Walikota : H. MUSADAR MAPPASOMBA, SP.MP
Alamat Kantor: Jl. Letjen. S. Parman, Kendari - Sulawesi Tenggara
Telp. (0402) 21026, 21402
Fax.
Website : http://www.kendarikota.go.id/
Sejarah
Kota Kendari dimasa Pemerintahan kolonial Belanda merupakan ibukota kewedanan dan ibukota Onder Afdeling Laiwoi yang luas wilayahnya kurang lebih 31,420 Km2. Sejalan dengan dinamika perkembangan sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan laut antar pulau, maka Kendari terus tumbuh menjadi ibukota Kabupaten dan masuk dalam Propinsi Sulawesi Selatan Tenggara.
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 terbentuklah Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kendari
ditetapkan sebagai ibukota propinsi yang terdiri atas 2 (dua) wilayah kecamatan yakni Kecamatan Kendari dan Kecamatan Mandonga dengan luas wilayah 76,76 Km2.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1978 Kota Kendari ditetapkan menjadi Kota Administratif dan berkembang menjadi 3 (tiga) wilayah kecamatan dengan luas wilayah 187,990 Km2 yang meliputi Kecamatan Kendari, Kecamatan Mandonga dan Kecamatan Poasia.
Selama terbentuknya Kota Administratif Kendari, berturut-turut menjadi Walikota ialah:
1. H. MANSYUR PAMADENG Tahun 1978 - 1979
2. Drs. H.M. ANTERO HAMPA Tahun 1980 - 1985
3. Drs. H. ANAS BUNGGASI Tahun 1985 - 1988
4. H. ADY MANGILEP selaku pelaksana tugas Tahun 1988-1991
5. Drs.A.KAHARUDIN selaku pelaksana tugas Tahun 1991-1992
6. Drs. H. USMAN SABARA selaku pelaksana tugas Tahun 1993
7. Drs. H. LM SALIHIN SABORA Tahun 1993 - 1995
8. Kol. (Inf) A. RASYID HAMZAH selaku pelaksana tugas Tahun 1995
Melalui perjuangan yang cukup panjang dan tekad warga kota yang menginginkan Kota Administratif Kendari menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II sebagai daerah otonom, maka dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1995 tanggal 3 Agustus 1995 Kota Administratif Kendari berubah status menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari yang diresmikan oleh Bapak Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 September 1995 dan tanggal ini pula ditetapkan sebagai hari lahirnya Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari.
Dengan terbentuknya Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari, maka sebagai Walikotamadya KDH. Tk. II Kendari diangkat Drs. LASJKAR KOEDOES sebagai Pj. Walikotamadya KDH.Tk. II Kendari sejak 27 September 1995 - 27 September 1996. Selanjutnya, seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka istilah Daerah Tingkat II dan Kotamadya berubah menjadi Kabupaten dan Kota sehingga Kota Kendari menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri.
Kota Kendari pada mulanya merupakan suatu simpul yang berkembang dari suatu “titik pertumbuhan” di tepi mulut estuaria Teluk Kendari. Dengan posisi geografis “berhadapan langsung” dengan Laut Banda yang merupakan “prasarana transportasi” orang dan barang maka Kota Lama Kota Kendari memiliki potensi berkembang cukup tinggi. Salah satu indikatornya adalah cukup tingginya lalu lintas orang dan barang dari wilayah belakangnya maupun sebaliknya yang terakumulasi pada simpul tersebut.
Daya tarik kemudahan yang dimiliki telah merangsang
penduduk untuk tinggal didalam dan disekitarnya, baik hanya sebagai pemukim maupun untuk bekerja yang tidak terbatas di sektor perdagangan yang telah berlangsung, tetapi juga di sektor kegiatan lain seperti transportasi jalan, jasa, “tempat berisitirahat sementara” (perhotelan), hiburan dan sebagainya. Desakan penduduk dengan segala kegiatan dan kepentingannya yang terus meningkat telah menimbulkan konflik pemanfaatan ruang antara berbagai kepentingan yang semakin beragam. Tingginya pertambahan penduduk yang berpengaruh terhadap peningkatan kebutuhan sediaan lahan yang terbatas di satu sisi potensial menimbulkan lingkungan yang kumuh dan “slum”, dan di sisi lain menuntut adanya perluasan wilayah.Namun demikian, karena secara fisik sebelah utara berbatasan langsung dengan Pegunungan Nipa- Nipa yang memiliki kelerengan cukup terjal, maka perluasan kota mengarah linier mengikuti ruas jalan menyusur garis pantai yang menghubungkannya ke arah Kota Unaaha dan Kolaka sekarang dan kearah selatan yaitu ke Torobulu. Pemanfaatan lahan antara bibir pantai estuaria Teluk Kendari dengan kaki Pegunungan Nipa-Nipa dalam jangka pendek telah memenuhi kebutuhan ruang bagi penduduk yang tidak dapat tertampung dan terlayani oleh Kota Lama Kota Kendari.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, desakan penduduk yang semakin tinggi terhadap lahan yang terbatas sediaannya pada luas tersebut, mulai terjadi penetrasi pemanfaatan ruangdi kaki Pegunungan Nipa-Nipa. Penetrasi dilakukan dengan melakukan penebangan vegetasi di kaki Pegunungan Nipa-Nipa dan merubah lahan yang semula berfungsi sebagai hunian penduduk dengan segala kegiatan penujang lainnya. Dengan adanya penetrasi tersebut telah menimbulkan masalah ketidakseimbangan lingkungan, yaitu:
1. Penebangan vegetasi di kaki Pegunungan Nipa-Nipa menyebabkan peningkatan erosivitas tanah sebaliknya terjadi penurunan tingkat erodibilitas tanah terhadap benturan air hujan;
2. Akibat selanjutnya dari kedua perubahan tersebut adalah semakin kecilnya pori-pori permukaan tanah karena partikel-partikel tanah yang terbentur langsung oleh air hujan menyumbat pori-pori tanah tersebut;
3. Penyumbatan pori-pori permukaan tanah menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi air permukaan (air hujan) ke dalam tanah sebaliknya meningkatkan volume aliran permukaan;
4. Penebangan vegetasi serta penurunan kandungan air tanah secara bersama-sama potensial menimbulkan ketidakseimbangan daya dukung tanah yang pada akhirnya dapat menyebabkan erosi dan tanah longsor, yang terutama membahayakan penduduk yang tinggal di atasnya;
5. Penurunan kapasitas infiltrasi tanah berpengaruh sangat kuat terhadap penurunan kandungan air tanah, sebaliknya peningkatan volume aliran air permukaan menyebabkan banjir dengan membawa partikel-partikel tanah yang
lepas di saat terjadinya benturan air hujan dengan tanah;
6. Kekurangsediaan prasarana penampung dan pengalir limpasan air permukaan menimbulkan banjir sekaligus partikel yang terbawanya menyebabkan pendangkalan estuaria Teluk Kendari.
Untuk mengantisipasi pemusatan pertumbuhan dan pembangunan di Kota Lama Kota Kendari maka pada tahun 1964 Kota Kendari ditetapkan sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara dengan dibangunnya pusat pemerintahan di Mandonga, sekaligus sebagai counter magnet Kota Lama. Simpul Mandonga secara geografis merupakan persimpangan antara ruas Kota Lama Kota Kendari-Kolaka dengan Kota Kendari-Torobulu. Bertemunya dua arus pergerakan orang dan barang menyebabkannya berkembang pesat mengimbangi simpul Kota Lama Kota Kendari, dengan pola penyebaran mengikuti jaringan jalan yang ada. Namun demikian, keterbatasan jangkauan pelayanan di satu sisi serta masih kuatnya daya tarik Kota Lama menyebabkan tumbuhnya simpul baru diseberang Kota Lama, yaitu disekitar Kelurahan Puday saat ini. Sama halnya dengan pola perkembangan kota pada dua simpul sebelumnya, perkembangan fisik simpul ketiga pun mengikuti arah jaringan jalan yaitu kearah barat disamping keterbatasan perkembangan kearah selatan lebih disebabkan kendala fisik yang berkemiringan terjal.
Pesatnya pembangunan dan perkembangan yang terjadi di Kota Kendari, yaitu mulai dari Kota Lama, Mandonga dan
Puday menuntut penguatan administrasi pengelolaan kota, sehingga pada 1978 ditetapkan sebagai Kota Administratif Kota Kendari. Keterbatasan kemampuan dan kewenangan pengelolaan pembangunan Kota Kendari dibandingkan dengan luasnya wilayah pelayanan menyebabkan Kota Kendari tampak tumbuh dan berkembang sebagai kota yang kurang terencana yang dapat dilihat dari stadia perkembangan kota periode 1960 sampai 1983.
Sedangkan pembangunan kota yang tidak terencana dan tertata dengan baik potensial menimbulkan banyak permasalahan, baik fisik, sosial maupun ekonomi yang saling berkaitan dan mempengaruhi. Permasalahan-permasalahan yang dapat dikemukakan diantaranya adalah:
1. Kesalahan pemanfaatan ruang sehingga dapat menimbulkan masalah lingkungan;
2. Timbulnya lingkungan-lingkungan permukiman kumuh dan “slum”;
3. Kawasan-kawasan kumuh dan “slum” potensial menjadi sumber penyakit dan memudahkan penyebaran penyakit karena tidak didukung sediaan prasarana lingkungan yang memadai dan prima dalam pelayanan;
4. Kawasan kumuh dan “slum” yang terbentuk menurut suku asal penduduk pemukimnya yang akan saling berbeda adat istiadatnya potensial menimbulkan pergesekan strata sosial;
5. Pergesekan strata sosial yang mengarah pada kecemburuan sosial ekonomi yang pada akhirnya akan melemahkan ketahanan nasional. Seringnya kawasan kumuh dan “slum” sebagai “sarang pelaku kriminal” sangat berkaitan erat dengan adanya kecemburuan sosial tersebut.
Berdasarkan kondisi yang ada serta dengan memperhatikan kedudukan Kota Kendari sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara, maka pada tahun 1984 disusun Rencana Umum Tata Ruang Kota Administrasi Kota Kendari 2004. Pendekatan yang dilakukan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota Kota Kendari ini adalah dengan mengembangkan sistem banyak pusat pertumbuhan (multiple nuclei) yang masing-masing diarahkan dan dilengkapi dengan fasilitas dan utilitas kota sesuai dengan jumlah penduduk yang diperkirakan akan menghuninya. Melalui pendekatan multiplei nuclei ini diharapkan lalu lintas orang dan barang tidak terpusat pada satu simpul sebagaimana selama periode 1960-1983 terjadi, tetapi tertahan di masing-masing pusatnya. Beberapa indikator berjalannya konsep multiplel
nuclei tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
1. Pemindahan pusat pemerintahan Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara ke Kecamatan Poasia agar tidak terpusat dan bercampur dengan pusat pemerintahan Kota Kendari.
2. Penyebaran fasilitas pendidikan tinggi “ke luar” dari pusat kota yaitu diarahkan ke Kecamatan Poasia dan Kelurahan Baruga.
3. Penyebaran lingkungan permukiman kearah Kecamatan Poasia dan Kecamatan Baruga.
4. Pembangunan fasilitas perdagangan kearah Kecamatan Poasia untuk menangkap dan menjalin konsumen supaya tidak langsung terpusat ke pusat kota, dan sebagainya.