Nama Resmi : Kabupaten Wajo
Motto : -
Ibukota : Makale
Luas Wilayah: 2.056,19 km²
Jumlah Penduduk: -
Kepadatan : - jiwa/km²
Wilayah Administrasi:
Kecamatan : 14
Desa/Kelurahan : -
Bupati : Drs. H. ANDI BURHANUDDIN UNRU, MM
Wakil Bupati : AMRAN MAHMUD, S.Sos, M.Si.
Kode Area : -
Alamat : Jl. Rusa No.17 Sengkang Kab.Wajo. Sengkang, Sulawesi Selatan - Indonesia 90911
Website : http://www.wajokab.go.id
Sejarah
Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak raknyatnya. Adapun konsep pemerintahan adalah :
Kerajaan
Republik
Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu
Hal tersebut semuanya ditemukan dalam LONTARAK SUKKUNA WAJO. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :
LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG
PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA
LAMUNGKACE TOADDAMANG
LATENRILAI TOSENGNGENG
LASANGKURU PATAU
LASALEWANGENG TO TENRI RUA
LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG (Pahlawan Nasional)
LAFARIWUSI TOMADDUALENG
Dan masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Tanah Wajo yang menjadi peletak dasar kebesaran dan kejayaan Wajo.
Beberapa versi tentang kelahiran Wajo, yakni :
Versi Puang Rilampulungeng
Versi Puang Ritimpengen
Versi Cinnongtabi
Versi Boli
Versi Kerajaan Cina
Versi masa Kebataraan
Versi masa ke Arung Matoa-an
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.
Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI TIPPE secara berdua diangkat sebagai Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara Langit di atasnya perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO.
Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.
Sedangkan untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan beberapa versi, yakni :
Versi tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan Koddingareng.
Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama Islam.
Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1741.
Dengan perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret 1399.
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya, disebabkan oleh berbagai aspek sebagaimana telah dikemukakan tedahulu, namun ada hal yang sangat hakiki yang perlu mendapatkan perhatian, yakni adanya kepatuhan dan ketaatan Raja dan rakyatnya terhadapat Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade Assiamengeng, Ade Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah ADE MAGGILING JANCARA, serta berbagai falsafah hidup, pappaseng dan sebagainya.
Kepatuhan dan ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya, sebaliknya perhatian dan pengayoman raja terhadap rakyatnya adalah satu aspek terwujudnya ketentraman dan kedamaian dalam menjalankan pemerintahan pada masa itu. Hal ini dapat kita lihat, pada saat LA TIRINGENG TO TABA dalam kedudukannya sebagai Arung Simettengpola mengadakan perjanjian dengan rakyatnya. Perjanjian ini dikenal dengan ”LAMUNGPATUE RILAPADDEPA” (Penanaman batu = Perjanjian Pemerintahan di Lapaddeppa’).
Inti dari perjanjian ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap perintah raja, asalkan atas kebaikan dan kemaslahatan rakyat, demikian pula raja akan senantiasa mengayomi rakyatnya dengan dasar Ade, Pengadereng (hukum), dengan pengakuannya :
”IO TO WAJO, MAUTOSA MUPAMESSA’, MUA RIATIMMU, MUPAKEDOI RILILAMU MAELO’E PASSUKKA’ RIAKKARUNGEKKU RI BETTENGPOLA, MAPERING TOKKO NA BACU BACUE, ONCOPISA REKKO MUELOREKKA’MAJA’ MATTI PAJJEO TO WAJO”
Artinya :
Ya orang-orang Wajo, sekalipun menimbulkan dalam hatimu atau menggerakkan dalam lidahmu, hendak mengeluarkan aku dari jabatan kerajaanku di Bettengpola, engkau akan tersapu bersih dari pada tersapunya batu-batu. Apalagi jika kalian bermaksud jahat terhadapku, maka engkau kering bagaikan garam.
Pada bagian lain Petta Latiringeng To Taba Arung Sao Tanre, Arung Simettengpola mengemukakan ”NAPULEBBIRENGNGI TO WAJJOE MARADEKA NAKKEADE’, NAMAFACCING RI GAU SALAE, NAMATINULU MAPPALAONG, NASABA RESOFA TEMMANGINGNGI MALOMO NALETEI PAMMASE DEWATA, NAMAFAREKKI WARANG PARANG, NASABA WARANG PARANGMITU WEDDING MAPPATUWO, WARANG PARANG MITU WEDDING MAPPAMATE”.
Artinya :
Yang menjadikan orang Wajo mulia ialah Kemerdekaan yang menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia, ia rajin bekerja, karena hanya dengan kerja keras sebagai titian untuk mendapatkan limpahan Rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hemat terhadap harta benda, karena harta benda orang bisa hidup sempurna dan harta benda pula bisa mematikan orang.
Apa yang telah diletakkan oleh Batara Wajo Pertama ini, oleh Batara Wajo dan Arung Matowa berikutnya terus dikembangkan sampai masa pemerintahan ARUNG MATOWA WAJO KEEMPAT: LATADAMPARE PUANG RIMAGGALATUNG, Wajo mencapai kejayaan. Pada masa pemerintahan inilah selama sepuluh tahun disempurnakan segala peraturan hukum adat, pemerintahan dan peradilan, dan mengajarkan etika pemerintahan, merealisasikan demokrasi dan hak-hak azasi manusia, konsep negara sebagai abdi rakyat (public servent) dan konsep Rule of Law (hukum yang dipertuan bukan raja).
Salah satu Ade Amaradekangengna yang dimuat secara terpencar dalam Lontarak Sukkuna Wajo, yang selanjutnya menjadi motto pada Lambang Daerah Kaubpaten Wajo (walaupun disingkatkan), antara lain berbunyai :
”MARADEKA TOWAJOE NAJAJIAN ALENA MARADEKA, TANAEMMI ATA, NAIYYA TOMAKKETANAE MARADEKA MANENG, ADE ASSAMA TURUSENNAMI NAPOPUANG”.
Artinya :
Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya hukum adat yang disetuji bersama yang mereka pertuan.
Kebesaran dan kemuliaan Tana Wajo disebutkan dalam Lontarak :
MAKKEDATOI ARUNG SAOTANRE PETTA TO TABA’ LA TIRINGENG : ”NAIA PARAJAIENGNGI WAJO’, BICARA MALEMPU’E NAMAGETTENG RI ADE’ MAPPURAONRONA, NAMASSE’ RI ADE’ AMMARADEKANGENNA IA TONA PASIAMASENGNGE TAUE RI LALEMPANUA, PASIO’DANINGNGE TAU TEMMASSEAJINGNGENG, NASSEKITOI ASSEAJINGENNA TANAE. NAPOALIE’-BIRETTOI TO WAJO’E MARADEKAE, NAIATOSI NAPOASALAMAKENGNGE TO WAJO’E MAPACCINNA ATINNA NAMALEMPU’, NAMATIKE’, NAMATUTU, NAMETAU’ RI DEWATA SEAUAE, NAMASIRI’ RIPADANNA TAU. LATONARO KUAE PACCOLLI’I PA’DAUNGNGI WAJO’, PATTAKKEI, PAPPALEPANGNGI, PAPPARANGA-RANGAI, NALORONG LAO ORAI’, LAO ALAU’, LAO MANINAG, LAO MANORANG, MATERENG RAUNNA MACEKKE’ RIANNAUNGI RI TO WAJO’E”.
Artinya :
Berkata pula Arung Saotanre Tuan Kita To Taba’ La Tiringeng: ”Yang membesarkan Wajo, ialah peradilan yang jujur, getang pada adat tetapnya dan teguh pada adat kebesarannya. Itu pula yang menyebabkan orang-orang saling mengasihi di dalam negeri, saling merindui orang-orang yang tidak bersanak dan mengukuhkan persahabatan negeri. Menjadikan pula orang-orang Wajo mulia karena kebebasannya. Yang menyelamatkan orang-orang Wajo, ialah ketulusan hatinya dan kejujurannya lagi waspada, berhati-hati, takut kepada Dewata Yang Esa dan menghargai harkat sesamanya manusia. Yang demikian itulah yang memutikkan dan mendaunkan Wajo, menangkaikan dan memelepahkan serta melebarkannya, menjalar ke barat, timur, selatan dan ke utara, rimbun dan dingin daunnya dinaungi oleh orang-orang Wajo”.
Nilai-nilai luhur yang antara lain dikemukakan di atas, maupun dalam Lontarak Sukkuna Wajo adalah kearifan yang menjadi jati diri rakyat Wajo, yang seharusnya kita kembangkan dan lestarikan.
Sumber :
Wajo Abad XV-XVI, Suatu Penggalian Sejarah terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara;
Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985
Munculnya Kerajaan Elektif Wajo, Suatu Percobaan untuk Menemukan Hari Jadi Daerah Wajo;
Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985
Sejarah Singkat Hari Jadi Wajo;
Drs. Hamid M. ; Andi Pabbarangi ; Dammar Jabbar, Maret 2000
Panitia Hari jadi Wajo (HJW). ke-610 Tahun 2009