beritadunesia-logo

Provinsi Papua

logoNama Resmi : Kabupaten Jayawijaya   
Ibukota :      Wamena
Luas Wilayah: 6.585  km²
Jumlah Penduduk:  209.881 Jiwa
Wilayah Administrasi:Kecamatan : 39
Bupati : WEMPI WETIPO, S.Sos, M.Par
Wakil Bupati: JHON RICHARD BANUA   
Alamat Kantor:
Telp.
Fax.
Website : http://www.jayawijayakab.go.id/

SEJARAH

A. EXPEDISI LEMBAH BALIM
Berbicara tentang Wamena tidak dapat dilepaskan dari kehadiran Pemerintah Belanda dan Misionaris yang memulai penyebaran injil di wilayah Irian Jaya umumnya dan pedalaman Irian Jaya  pada khususnya yang ketika itu masih dikenal dengan nama Nederlandsch Nieuw Guinea.

Keterlibatan mereka dalam merintis pembukaan lembah Balim dilakukan dalam beberapa kali ekspedisi setelah pertama kalinya pada awal abad ke XX ditemukannya suku Dani oleh  rombongan ekspedisi tahun 1909 yang dipimpin oleh Mr. H.A Lorentz.

Setelah penemuan tersebut dilakukan ekspedisi–ekspedisi lainnya untuk menjangkau kawasan yang lebih luas di Pegunungan Tengah  dan pada tahun 1938 sampai dengan  1939  dilakukan  ekspedisi  gabungan  Amerika – Belanda dipimpin  oleh seorang Milioner Amerika yang bernama Richard Archbold, mereka mengadakan penyelidikan ilmiah di bidang Flora dan Fauna dan beroperasi di Pegunungan Tengah yang kemudian ekspedisi ini dikenal dengan nama Ekspedisi Archbold. Pada tanggal 23 Juni 1938  ketika melintasi Danau Habema mereka melihat suatu lembah yang luas dengan penduduk yang padat,  karena perang dunia ke II (1939-1945) maka ekspedisi ini ditangguhkan, namun laporan dijumpainya kelompok-kelompok suku pada daerah pegunungan tengah tersebut terus dilaporkan melalui media masa seperti radio dan surat kabar ke berbagai negara di seluruh dunia.

Tanggal, 13 Mei 1945 sebuah pesawat Dakota milik Angkatan Udara Amerika Serikat  berpenumpang 24 orang yang tengah melakukan ekpedisi ke pedalaman pesawat teresebut disiarkan oleh pers dunia salah satunya dimuat dalam majalah di Amerika Serikat ”National Geographic Magazine” sekaligus memberitakan tentang diketemukannya  Lembah  Balim atau Shangrila (lembah yang tersembunyi)  dari hasil ekspedisi tersebut.

Berdasarkan laporan dan informasi-informasi tersebut menarik minat zending CAMA (Christian And Missionary Alliance) di Amerika untuk melihat kemungkinan menyebarkan Injil di lembah yang tersembunyi tersebut. Pada tanggal, 20 April 1954 zending CAMA dengan pesawat amfibi Short Sealand  yang dipiloti Albrth Lewis dan copilot Ed.W. Ulrich serta penumpang Pendeta Lioyd Van Stone dan Einer Michelson bersama keluarganya Elisa dan Rith Gobai serta anaknya Dorkas mengadakan pendaratan yang pertama di lembah Balim tepatnya di kampung Minimo, dan selanjutnya memutuskan untuk menjadikan seluruh lembah Balim sebagai daerah Pekabaran / pelayanan Injil (PI).

Pada tahap awal kegiatan yang harus dilakukan adalah membangun landasan terbang sebagai pusat perhubungan untuk memper-mudah pelayanan dan pasokan bahan pangan, namun karena keadaan tidak mengijinkan akibat terjadinya perang suku  yang terus menerus,  maka kemudian zending CAMA memutuskan untuk mencari tempat lain yang dapat digunakan membangun lapangan terbang, sambil menyusuri sungai ke arah selatan tibalah mereka pada daerah kekuasaan suku Asso–Lokobal, di daerah ini (di kampung Hepuba) mereka mendirikan kemah yang letaknya di pinggir sungai Balim.

Di tempat yang baru ini mereka berusaha mengadakan hubungan dengan orang-orang yang dianggap penting dalam masyarakat setempat dengan menggunakan barang kontak seperti kampak, parang, pisau dan lain sebagainya, upaya tersebut membawa hasil, mereka bisa  bertemu dengan  orang-orang  penting seperti Ukumhearek, Onarek dan Apsalek. Akibat hubungan yang baik tersebut mereka diberi sebidang tanah dekat sungai Hitigima untuk membangun sebuah landasan pesawat terbang.

Dari Hitigima para penyebar Injil (pendeta) menjelajahi seluruh Balim dan mereka berhasil membuka pos-pos pelayanan Injil seperti Piramid, Ibele, Pugima, Sinatma, Seima dan Tangma yang semua pos tersebut dilengkapi dengan landasan pesawat terbang.

Setelah zending CAMA mendatangi daerah lembah Balim pada tahun 1954 dan menjelajahi sebagian besar lembah ini dalam rangka Pekabaran Injil, maka satu atau dua tahun kemudian berdatangan zending-zending lain ke lembah Balim dalam misi yang sama, seperti   APCM (Asia Pacific Churh Mission), ABMS (Australian Baptist Misionary Society), RBMU (Regions Betond Missionary Union) dan UFM (Unevangelized Fields Mission).

C. PEMERINTAHAN BELANDA

Pada tanggal 18 sampai 26 Januari 1955 seorang Wakil Pemerintah Belanda V. De Bruyn mengadakan kunjungan kerja ke Lembah Balim, disusul oleh Inspektur Penerbangan sipil W. Van Lottum dan kawan-kawan melalui pesawat udara menentukan  sebidang tanah di Wamena untuk pembangunan lapangan terbang yang dapat didarati oleh pesawat Dakota (panjang 1450 meter). Akhirnya pada bulan  Desember 1956 Pemerintah Belanda membuka pos Pemerintahan yang pertama dekat muara kali Wamena yang juga disebut kali Uwe.

Adapun kronologis kedatangan dan pembukaan Pos Pemerintahan yang pertama di lembah Balim dijelaskan dari sebuah surat yang ditulis oleh Bapak Drs. Frits Veldkamp, mantan Kepala Pemerintahan atau Kontrolir   Belanda   yang    membuka   pos   pertama   di Wamena yang diterjemahkan oleh Pastor Frans Lieshout ofm.

”Kami mendarat di lapangan terbang di Hitigima pada hari Senin tanggal 10 Desember 1956 jam 9 pagi dengan pesawat Beaver milik Kroonduif (Merpati), dipiloti oleh Ed Ulrich. Dengan beberapa penerbangan pada hari-hari berikut rombongan kami yang ditugaskan untuk mendirikan pos pemerintah yang pertama di Lembah Balim, dilengkapi sampai 15 anggota polisi asal Biak dan Paniai, Kepala Polisi Bapak E.L.Shultz,  pegawai Meteo Bapak F. De Kooy dan kepala rombongan yaitu Kontrolir bapak Drs. Frits Veldkam. Kami membuat sebuah perkemahan sementara di Hitigima karena kami hanya transit di situ dan ingin berangkat secepat mungkin ke tempat tujuan yang sebenarnya yaitu Wesakaput (muara Wesak atau Wesaput).  Lokasi ini sebelumnya  sudah  ditentukan  dari udara dengan pesawat udara  karena dari Wesaput dapat dilakukan transportasi lokal melalui sungai Balim dengan kapal/perahu dan karena tidak jauh dari lokasi itu akan dibangun lapangan terbang. Maka pada tanggal 14 Desember kami pindah ke Wesaput dengan memakai sebuah boat dengan motor tempel. Lokasi di Wesaput itu terletak dipingir kali Balim tidak jauh dari muara kali Uwe. Disitu kami langsung membuat Pos Pemerintahan yang pertama dengan memakai kayu dan terpal, yang kemudian diganti dengan atap seng. Kami tinggal di Wesaput dan selama tahun pertama kami berhasil membangun lapangan terbang. Ternyata lokasi lapangan terbang adalah Yukmo atau tempat perang antara klen Hubikiak, Mukoko dan Ohena, sehingga agak sulit untuk mendapatkan tenaga kerja dari klen-klen itu dan untuk menjamin keamanan bagi mereka dari serangan musuh. Untuk   menghindari   jatuhnya   korban, para   pegawai Pemerintah sendiri ikut bekerja sama dengan kelompok-kelompok kecil masyarakat. Tetapi akhirnya kami berhasil menyelesaikan pekerjaan itu secara memuaskan dan saya merasa bangga bahwa pendirian pos dan lapangan terbang tidak menelan korban di pihak masyarakat. Panjang lapangan kurang lebih 600 meter dan pendaratan pesawat yang pertama dilakukan pada tanggal 25 Juli 1957.

Alasan-alasan untuk membuka Pos Pemerintahan yang pertama di Wesaput adalah:

  • Lokasi tersebut  terletak dekat sungai Balim dan sungai itu dipakai untuk tranportasi barang dari Hitigima ke Wesaput;
  • Lokasi itu terletak dekat perkampungan masyarakat yang pada waktu itu masyarakatnya tinggal di seberang sungai Balim;
  • Lokasi itu juga tidak jauh dari lapangan terbang Ketika lapangan terbang sudah selesai pembangunannya dan dapat didarati oleh pesawat sejenis dakota, maka kemudian mantan Kontrolir Belanda F. Veldkamp mengusulkan untuk memindahkan kota Wamena ke tempat yang lebih atas lagi yaitu Sinatma, dengan pertimbangan dekat kali uwe yang dapat memberikan listrik dan air minum untuk kota. Namun usulan tersebut tidak diterima dan kota Wamena diperluas disekitar lapangan terbang.



Dalam lanjutan suratnya bapak F. Veldkamp berpendapat bahwa tanggal 14 Desember 1956 adalah tanggal berdirinya kota Wamena dimana awal mulai dilakukannya kegiatan-kegiatan pembangunan di lembah Balim adalah dari Wesaput

Penjelasan di atas bukanlah final karena masih ada perbedaan pendapat dikalangan para pelaku sejarah.

D. ASAL MULA NAMA WAMENA

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti awal mula Wamena digunakan sebagai nama kota di Lembah Balim ini hal itu disebabkan minimnya  sumber data yang otentik yang dapat digunakan sebagai landasan observasi dan pengujian lapangan apakah Wamena diambil dari salah satu nama tempat di Lembah Balim ini atau dari salah satu bahasa perantara di kalangan masyarakat yang mendiami lembah ini. Nama Wamena kemudian dapat ditelusuri dari beberapa informasi yang sempat ditulis oleh para misionaris yang pernah melakukan ekspedisi di daerah ini dengan menyampaikan data tertulis serta informasi lisan yang berhasil dikumpulkan pada saresehan/seminar hari Jadi Kota Wamena tanggal, 4 Nopember 1996.

Petikan informasi tersebut adalah sebagai berikut :

”Pada tahun 1959  pemerintah Belanda memasuki lembah Balim melalui lapangan terbang di Hitigima  dan membuka pusatnya di Wesaput (muara kali Wesak= Wesagaput=Wesaput) dengan kepala Pemerintahan Belanda yang pertama (kontrolir) adalah Tn. Velkamp. Tugas pertamanya adalah membangun  Lapangan terbang  dekat kali Uwe (Uweima). Mengenai asal-usul dan arti dari nama ”Wamena” ada beberapa pendapat, ada yang mengatakan bahwa nama sebenarnya Uweima (dari nama kali Uwe + i + ma = dipinggir kali Uwe), yang kemudian oleh para pendatang diucapkan salah menjadi Wamena.

Pendapat itu belum tentu benar karena dalam peta yang dibuat oleh ekspedisi Archbol (1938) kali Uwe juga disebut Wamena.

Sementara dalam versi yang lain nama ”Wamena” oleh A. Akua menjelaskan dalam bukunya ) bahwa orang Wio (nama yang umum digunakan untuk daerah lembah balim) sendiri tidak mengenal suatu tempat   dengan   nama   Wamena  dan  bahwa  nama  itu diberikan pada tahun 1957-1958 oleh Pendeta Jerry Rose yang tinggal dekat lapanan terbang sebagai pengurus barang milik CAMA. Pada suatu hari  ia melihat mama kandung Kain Wenehule Hubi, Toarekhe Itlay menetekkan anak babinya sambil berkata ”yi wam ena oo...” (ini babi piara), oleh karena itu ia menyebut tempat itu ”Wamena”

Penjelasan di atas ini kurang meyakinkan penulis buku ini dengan alasan sebagi berikut : menurut catatan dalam arsip  Gereja Katolik, pihak CAMA ( Pendeta Rose ) mulai berdomisili di Wamena pada bulan Septermber 1960 dan tidak pada tahun 1957-1958, kemudian benarkah bahwa ibu-ibu  Balim menyusui anak babi  kesayangan mereka seperti seorang bayi? Tentulah hal ini tidak benar. Cerita itu memberikan gambaran keliru kepada orang-orang luar mengenai orang Balim, lagi pula nama Wamena tidak baru muncul pertama kalinya pada tahun 1957-1958.  Nama  itu  sudah  disebut dalam Ekspedisi Archbold pada tahun 1938 sebagai nama alternatif untuk kali Uwe.

Dalam lanjutan suratnya sebagaimana disebutkan di atas, Frits Veldkamp menyampaikan bahwa dalam ekspedisi Archbold pada tanggal 26 Agustus 1938 rombongan menyeberangi sebuah kali kecil di lereng gunung Trikora pada ketinggian 3.150 meter, yang bernama ”Wamena”. Masyarakat Walesi membenarkan adanya kali kecil itu tetapi namanya bukan Wamena melainkan ” Wamela”.

Rupanya anggota ekspedisi itu salah mendengar dan mencatat ”Wamena”. Kali kecil itu mengalir menuju kali Balim melalui kali Uwe. Karena kekeliruan itu, ekspedisi Archbold memberikan dua nama kepada kali yang sama yitu Uwe dan Wamena ( kali yang mengalir dari welesi ke kali Balim disebut kali Uwe dan kali Wamena ) pada peta buatan ekspedisi Archbold yang diterbitkan   pada   bulan   Mei   1939.   Oleh   karena  itu Pemerintah Belanda sejak awal kedatangannya memakai nama ”Wamena” untuk Pos mereka di lembah Balim, yang mana diambil dari nama kali Wamena/Uwe.

Dari hasil wawancara terhadap 24 responden pada Saresehan hari jadi kota Wamena bulan Nopember 1996 sebagian besar menyatakan tidak mengetahui dari mana nama Wamena itu diambil untuk dijadikan sebagai ibu kota Kabupaten Jayawijaya, sedang empat orang saja yang menyatakan mengetahui tentang asal-usul nama Wamena. Menurut empat orang ini mengisahkan bahwa nama Wamena diambil dari dialog antar Fritz Velkamp dengan pembantunya yang sedang mengurus ternak di kandang. Fritz Velkamp bertanya : Sedang apa? Jawab pembantunya ”An Wam Ena” dari percakapan ini kemudian F.Velkamp mempublikasikan nama tempat ini Wamena.

Dari beberapa sumber, informasi di atas menunjukkan bahwa kata Wamena telah ada sejak dahulu dan digunakan hingga saat sekarang ini dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat di Lembah Balim,  yang kemudian diabadikan sebagai ibu kota Kabupaten Jayawijaya.

Setelah kedatangan Drs. Frits Veldkamp yang membawa misi Pemerintahan pada tanggal 10 Desember 1956 maka berangsur-angsur daerah Lembah Balim / Wamena mulai dikenal baik ditingkat Pemerintah Belanda sendiri maupun kalangan misionaris, dan tak ketinggalan misionaris Katolik yang menetapkan hari pertamanya dilembah Balim tanggal 5 Februari 1958 Gereja Katolik masuk di daerah Wamena.

Dengan kehadiran Pemerintah dan para misionaris tersebut, maka dalam kurun waktu tahun 1954 sampai dengan tahun 1960, semua masyarakat di Lembah Balim/Dani mulai mengadakan hubungan dengan dunia luar, yang mengakibatkan perubahan hidup dari tradisional   ke   perubahan  yang  radikal  dalam  struktur sosial, kegiatan sehari-hari dan dalam wawasan kebangsaan maupun identitas orang Dani. Puncak pergumulan orang Dani adalah tanggal 1 Mei 1963 secara resmi Irian Barat kembali ke pangkuan Republik Indonesia, dan mulai saat itu pelayanan penyelenggaraan pemerintahan telah beralih dari Hindia Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia.

B. TANGGALHARI JADI WAMENA

Guna menghindari kontroversi dan kesimpangsiuran di kalangan masyarakat menyangkut hari jadi Kota Wamena, maka Pemerintah Daerah Tingkat II Jayawijaya telah mengadakan beberapa kali saresehan dan seminar untuk mendapatkan masukan terkait hari jadi kota Wamena yang dilaksanakan pada tanggal 4 Nopember 1996, tanggal 5 Maret 1997 dan seminar pada tanggal 10 Pebruari 1998, dari hasil saresehan  dan  seminar  tersebut  telah diputuskan bahwa hari jadi Kota Wamena jatuh pada tanggal 10 Desember tahun 1956. Bentuk keputusan tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Jayawijaya Nomor 4 tahun 1998.

Penetapan tanggal 10 Desember tahun 1956 bukan tanggal 14 Desember 1956 sebagai Hari Jadi Kota Wamena lebih banyak didasarkan pada aspek kedatangan misi Pemerintahan pertama meskipun secara operasional Pemerintahan itu sendiri dimulai pada tanggal, 14 Desember 1956.

Kami menyadari bahwa tulisan ini belum dapat disajikan secara lengkap karen perlu dikaji kembali untk mendapatkan gambaran yang lengkap diwaktu-waktu mendatang. Demikian gambaran singkat sejarah Kota Wamena Kabupaten Jayawijaya, mudah-mudahan apa yang kami sajikan dapat menambah informasi mengenai Kota Wamena.