Nama Resmi : Kabupaten Aceh Tengah
Ibukota : Takengon
Luas Wilayah : 4.315,14 Km²
Jumlah Penduduk : 182.126 (Thn 2007)
Wilayah Administrasi : Kecamatan : 14, Kelurahan : 2, Desa : 207
Bupati : Ir. H. Nasaruddin MM
Wakil Bupati : Drs. H. Khairul Asmara
Alamat Kantor: Jl. Yos Sudarso, Takengon
Telp. (0642) 21014, Fax. 21170
Website : www.acehtengahkab.go.id
SEJARAH
Kedatangan kaum kolonial Belanda sekitar tahun 1904, tidak terlepas dari potensi perkebunan tanah Gayo yang sangat cocok untuk budidaya kopi Arabika, tembakau dan damar. Pada masa ini wilayah Aceh Tengah dijadikan Onder Afdeeling Nordkus Atjeh dengan Sigli sebagai ibukotanya.Dalam masa kolonial Belanda tersebut di kota Takengon didirikan sebuah perusahaan pengolahan kopi dan damar. Sejak saat itu pula kota Takengon mulai berkembang menjadi sebuah pusat pemasaran hasil bumi dataran tinggi Gayo, khususnya sayuran dan kopi.
Sebutan Onder Afdeeling Takengon di era kolonial Belanda, berubah menjadi Gun pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Gun dipimpin oleh Gunco. Setelah kemerdekaan RI diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, sebutan tersebut berganti menjadi wilayah yang kemudian berubah lagi menjadi kabupaten.
Aceh Tengah berdiri tanggal 14 April 1948 berdasarkan Oendang-oendang No. 10 tahoen 1948 dan dikukuhkan kembali sebagai sebuah kabupaten pada tanggal 14 November 1956 melalui Undang-undang No. 7 (Drt) Tahun 1956. Wilayahnya meliputi tiga kewedanaan yaitu Kewedanaan Takengon, Gayo Lues dan Tanah Alas.
Sulitnya transportasi dan didukung aspirasi masyarakat, akhirnya pada tahun 1974 Kabupaten Aceh Tengah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Aceh Tenggara melalui Undang - undang No. 4 Tahun 1974. Kemudian, pada 7 Januari 2004, Kabupaten Aceh Tengah kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan Undang -undang No. 41 Tahun 2003. Kabupaten Aceh Tengah tetap beribukota di Takengon, sementara Kabupaten Bener Meriah beribukota Simpang Tiga Redelong
Panorama pegunungan, bukit, serta kondisi alam yang masih asri dan kerap berselimut kabut, menjadikan pemandangan di dataran tinggi Gayo bak lukisan alam. Dilihat dari kejauhan saat kabut turun, sebuah kabupaten yang terletak di sepanjang Bukit Barisan itu seolah menyembul dari awan-awan yang melingkupinya. Kabupaten Aceh Tengah bagaikan “Negeri di atas awan”. Rona wilayah yang didominasi pegunungan serta suhu udara yang sejuk memberi pesona tersendiri bagi daerah ini. Sebuah danau yang dikitari gunung-gunung di tepi kota Takengon, ibu kota kabupaten, melengkapi keindahan kabupaten Tanah Gayo itu. Dari danau Laut Tawar itu mengalir sebuah sungai Krueng Peusangen yang bermuara di Selat Malaka. Danau seluas 5.742 hektar itu, selain sebagai objek wisata, juga merupakan sumber air minum bagi masyarakat yang ada di kota Takengon, serta sebagai sumber air bagi PLTA Peusangan I dan II.
Aceh tengah dikenal pula dengan sebutan “Negeri Antara” memang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Dari luas wilayahnya, 58,57 persen merupakan kasawan lindung, dan sisanya 41,43 persen menjadi kawasan budidaya. Topografi yang bergunung-gunung dan tanah yang subur memberikan keuntungan bagi usaha pertanian. Kabupaten ini memang masih menggantungkan ekonominya dari pertanian. Kontribusinya mencapai Rp. 839,91 milyar. Sebesar 32,05 persennya atau senilai Rp. 350,95 milyar disumbang dari perkebunan.
Kopi menjadi andalan utamanya. Perkebunan kopi mencapai 73.461 hektar yang tersebar di seluruh kecamatan dan umumnya merupakan perkebunan milik rakyat. Sebanyak 53.902 keluarga petani kopi terlibat di usaha perkebunan ini. Penanaman kopi memang dikenal penduduk sejak zaman belanda. Bahkan sebagian besar kebun kopi yang ada sekarang merupakan peninggalan perkebunan belanda. Jenis kopi Arabica-lah yang banyak ditanam disini. Selain karena memang cocok tumbuh di daerah yang berhawa sejuk, harganya pun relatif lebih tinggi dibanding kopi jenis lain. Tahun 2000, kopi daerah ini bisa menghasilkan 27.105 ton kopi. Hasil itu sebagian ada yang diekspor ke Amerika, Jepang dan Belanda, dan sebagian dikirim ke Medan kemudian baru diekspor ke negara tujuan, nilai ekspor kopi bisa mencapai 10 juta dollar AS lebih dalam setahun.
Ketinggian daerah Aceh Tengah yang bervariasi dari 100 meter -2500 meter dpl, di beberapa tempat dimungkinkan untuk ditanami tanaman pangan, seperti padi, palawija, dan hortikultura. Namun hampir 79,64 persen lahan di daerah ini berada pada kemiringan di atas 15 persen yang hanya cocok untuk usaha perkebunan. Areal persawahan Cuma ada di lahan yang kemiringannya lebih dari 15 persen, tetapi itupun kurang produktif. Apalagi areal persawahan di Aceh Tengah umumnya menggunakan sistem pengairan tadah hujan. Dari luas sawah 13.124 hektar, luas tanamnya hanya 3.107 hektar dengan produksi padi 10.613 ton. Rendahnya produksi padi sudah tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan beras penduduk. Hingga saat ini, Aceh Tengah masih mendatangkan beras dari beberapa kabupaten tetangga, seperti Pidie, Bireun, dan Aceh Utara.
Lain halnya dengan tanaman sayur-sayuran, palawija dan holtikultura yang dapat tumbuh subur di daerah ini. Tanaman sayur-sayuran seperti kentang, tomat, cabai dan kubis banyak dibudidayakan petani. Tahun 2000 luas areal tanaman kentang 1.930 hektar, menghasilkan 37.617 ton. Produksi kentang yang dipasarkan di tingkat lokal, ke beberapa kota seperti Medan, Banda Aceh, bahkan sudah ada yang diekspor ke Malaysia. Komoditas kentang juga sudah mulai diolah menjadi makanan ringan dalam bentuk keripik oleh beberapa industri rumah tangga.
Tanaman palawija yang banyak dibudidayakan antara lain kacang kedelai, kacang tanah, jagung, dan ubi jalar. Sedangkan komoditas buah-buahan yang diusahakan sebagai kegiatan sampingan adalah tanaman jeruk keprok, jeruk siam, alpokat, nanas, dan durian. Jeruk keprok menjadi produk unggulan. Tahun 2000 produksi jeruk keprok mencapai 2.465,9 ton. Komoditas ini tersebar di beberapa kecamatan seperti Takengon, Bebesan, Silih Nara, Bukit, Bandar dan Pegasing.
Letak kabupaten yang berada di dominasi pegunungan, menjadikan daerah ini masih terisolir. Prasarana transportasi menjadi kendala utama Takengon dan daerah lain di Aceh Tengah. Jalur ke Takengon menjadi semacam jalan “buntu”. Artinya, angkutan semacam bus dan truk tidak dapat melanjutkan perjalanan ke daerah lain, sehingga kembali melalui jalan yang sama. Akses menuju ke daerah ini sangat bergantung pada jalan Bireun – Takengon, serta jalan alternatif Takengon–Blang-Kejeren-Kutacane yang kurang representatif, kondisi kedua jalan itu sangat tidak kondusif, baik karena rawan longsor maupun gangguan lainnya, seperti gangguan keamanan.
Kawasan pegunungan yang terisolasi yang tidak memiliki prasarana transportasi, seperti kawasan Samarkilang, Karang Ampar, Pameu dan Jamat yang sebagian besar produk pertaniannya hanya dapat digunakan untuk kebutuhan hidup di daerah itu.
Usaha Pemda Kabupaten untuk mengatasi masalah tersebut adalah memperbaiki dan membuka ruas jalan yang baru yang bernilai ekonomis, baik antar kecamatan maupun antar kabupaten. Anggaran yang disediakan mencapai Rp. 57,25 milyar atau 52,77 persen dari total belanja pembangunan APBD tahun 2001, diharapkan pembukaan ruas jalan baru akan menguntungkan bagi kebutuhan hidup penduduk dan juga Pemda Kabupaten dapat mempromosikan wisata keindahan alam “Negeri Antara” yang dimilikinya.