Genap berusia 52 tahun pada 2016, kini perkumpulan tersebut beranggotakan lebih dari 1000 orang hasil seleksi. Hingga saat ini pendidikan di alam yang menjadi standar keanggotaan Wanadri masih rutin dilakukan dengan metode yang sama.
Kamis (7/4/2016) yang lalu, KompasTravel bertemu dua senior Wanadri generasi 1970-an, yaitu Djukardi Andriana yang akrab disapa Kang Bongkeng dan Saleh Sudrajat, dipanggil Kang Saleh.
Keduanya mengisi sesi talkshow dalam acara "Indofest 2016", di Istora Senayan, Jakarta. Mereka mempunyai keahlian di bidangnya masing-masing. Kang Bongkeng merupakan ahli mountainering di Wanadri, berbagai gunung telah didaki termasuk seven summit Indonesia dan dunia pada 2012.
Sedangkan Kang Saleh ahli di bidang ekspedisi udara. Sabang sampai Merauke telah dikelilinginya melalui ekspedisi udara. Keduanya hingga saat ini masih aktif di bidangnya masing-masing.
Saleh mengatakan tiap anggota Wanadri memang berpatok pada moto yang dijunjungnya, yaitu "tidak ada gunung yang tinggi, jurang curam, rimba belantara, lautan serta angkasa yang tak dapat dijelajah oleh Wanadri".
Ia pun membuktikannya di jalur angkasa, melalui ekspedisi udara keliling Indonesia. "Kita ingin moto tersebut bukan sekedar omong kosong," ujar Saleh kepada KompasTravel, sesaat mengisi talkshow di Indofest 2016.
Hingga tahun 2012 genap sudah semua sektor dijelajahi, di antaranya melalui ekspedisi 92 pulau Indonesia pada 2008, dan mendaki gunung seven summit dunia pada 2011 hingga 2012.
Bongkeng menceritakan bagaimana perhimpunan ini dahulu dibentuk. Ia mengatakan awal berdiri tahun 1964, perhimpunan ini dibentuk untuk semua kalangan, hingga saat ini anggotanya dari berbagai profesi.
Ia mengatakan Wanadri dipelopori beberapa orang yang hobi berpetualang di kepanduan. Dahulu tiap sekolah dan kampus ada pendidikan survival yang dinamakan kepanduan.
Kepanduan kemudian berubah jadi Pramuka, dengan kegiatan yang sedikit berbeda. Sekumpulan orang tersebut masih menginginkan kegiatan survival dan pada akhirnya dibentuk Wanadri.
"Wana sendiri berarti 'hutan', dan 'adri' itu gunung. Jadi Wanadri itu gunung di tengah hutan," ujar Saleh.
Sampai saat ini Wanadri sudah mengalami tiga generasi, dari "kakek" sebagai pelopor dan pendiri, hingga "cucu" sebagai anggota saat ini. Ia menambahkan sampai saat ini pendidikan dasar yang diberikan kepada anggota baru hasil seleksi masih sama sejak tahun 1964. Wanadri mempertahankannya karena hasilnya sudah teruji dan terbukti unggul.
Ia menceritakan pola pendidikannya berjalan selama satu bulan, salah satunya di Situ Lembang, mulai dari pelatihan basic training, panjat tebing, arus deras, navigasi darat, SAR (search and rescue), perjalanan laut, rawa, hingga survival.
"Semua anggota harus menguasai semua materi dasar tersebut, walaupun pada akhirnya tiap orang fokus pada keahliannya. Ini akan berguna saat ada masalah di alam pada sektor manapun jadi bisa ditanggulangi," ujar Bongkeng.
Di Wanadri sendiri keanggotaan berlaku seumur hidup. Tidak ada istilah lulusan atau alumni Wanadri. Hingga saat ini anggotanya mulai menteri, politisi, atlet, hingga pedagang. Di angkatan pelopor terdapat tokoh-tokoh kenamaan seperti Salahudin Wahid, Kuntoro Mangkusubroto, dan Eri Riana.
Ia menambahkan hal-hal dasar yang dibentuk di Wanadri ialah nasionalis, mental, karakter, juga fisik dan kesehatan. Oleh karena itu sejak tahun 1964 salah satu modal utama untuk masuk ialah berideologi Pancasila.
Saat ini Wanadri memiliki berbagai kegiatan rutin baik bagi masyarakat umum ataupun anggotanya sendiri. Selain membuka pendaftaran anggota baru, terdapat kegiatan terjadwal seperti bakti sosial, ekspedisi, pelatihan, dan pendidikan alam.
Juga kegiatan tidak terjadwal seperti membantu kegiatan SAR dari mulai maping masuk ke daerah bencana, membuka akses yang tertutup, hingga mengirim tenaga medis dan makanan.
"Kita boleh berbangga sedikit, karena kita merupakan orang pertama yang dapat pelatihan SAR, bahkan sebelum Basarnas terbentuk," ujar Saleh.
Selain itu setiap anggota boleh mengadakan perjalanan baik dengan kelompok maupun angkatannya masing-masing. Kegiatan pelatihan dan pendidikan sendiri dapat diikuti oleh masyarakat di luar keanggotaan. Seperti kegiatan sekolah mendaki gunung, pelatihan navigasi darat udara, hingga sekolah SAR.
Keduanya berpesan bagi generasi sekarang khususnya para pemula yang mulai mencintai kegiatan outdoor, seperti pendakian, harus membekali diri dengan pengetahuan hidup di alam liar. Jangan sampai nanti menyulitkan orang lain.
"Harusnya membantu kalau dia memang punya pengetahuan mengenai survival, karena bermain di alam punya banyak resiko," ujar Bongkeng.
Penulis | : Muhammad Irzal A |
Editor | : Ni Luh Made Pertiwi F |