DI Danau Bulat, senja tampak jingga dan
senyap. Air hitam menemani seluncur sampan dan tubuh yang ingin segera
dibasuh cuaca segar. Segala penat pun menguap bersama horizon yang
menggelap.
Kami tiba di Danau Bulat menjelang senja singgah
setelah sebelumnya bertemu dengan ibu-ibu dan anak-anak gadis yang
tengah membuat pupur atau bedak dingin. Pupur ini dibuat dari campuran
beras, daun melati, ambin boa, dan seponggol yang ditumbuk halus.
Setelah
dijemur hingga kering, bubuk dapat dipakai sebagai bedak setelah
dicampur sedikit air. Pupur yang disebut bekasai ini berkhasiat
menghilangkan flek hitam dan jerawat. Bekasai kemudian menjadi modal
kami bermandi matahari sore di Danau Bulat agar kulit wajah tak mudah
terbakar.
Danau Bulat terletak di Desa Jahanjang, Kecamatan
Kamipang, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah. Danau yang
luasnya mencapai 500 meter persegi ini merupakan salah satu danau alam
yang terdapat di desa itu. Ada kira-kira 13 danau lainnya di kawasan
tersebut, baik besar maupun kecil.
Danau Bulat merupakan kawasan
penyangga yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Sebangau dan
dikembangkan sebagai salah satu obyek dalam simpul ekowisata Kamipang.
Danau
ini juga dikembangkan sebagai sumber perikanan tangkap nelayan dan
tempat penelitian. Sebagian besar warga mencari nafkah sebagai nelayan
dan buruh perkebunan sawit.
KOMPAS/SRI REJEKI
Ibu-ibu dan anak-anak gadis di Desa Jahanjang, Kecamatan Kamipang,
Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah, tengah membuat pupur
atau bedak dingin.
”Danau
ini dikembangkan sebagai ekowisata dan perikanan agar masyarakat sibuk
di danau dan tidak merambah hutan,” kata Nina Nuraisyah, Koordinator
Komunikasi World Wildlife Fund Program Kalimantan Tengah, yang
mendampingi pengembangan ekowisata.
Di danau ini terdapat
bermacam ikan yang bisa dikonsumsi, seperti ikan gabus, toman, kapar,
sepat, puyu, lele, dan biawan. Nama danau yang tidak jauh dari alur
Sungai Katingan ini dipercaya warga berasal dari kata ”bunter” atau
”bunder”.
Menurut Kepala Desa Jahanjang Jonneidi, pendiri Desa
Jahanjang, yakni Mat Saleh Engkan, yang berasal dari Singapura, memiliki
istri seorang Dayak Ngajo bernama Bunter.
Ketika melihat danau,
Mat Saleh memberi nama danau dengan nama istrinya, yakni bunter atau
bunder yang dalam bahasa Indonesia artinya bulat walaupun tepian danau
sesungguhnya tidak membentuk bulatan.
”Pada bulan Juni hingga
Agustus, ribuan belibis berada di atas danau. Tampaknya mereka singgah
dalam perjalanan migrasinya dari arah barat ke timur,” kata Jonneidi.
Bersampan
Permukaan
air tampak mulai berkilauan seiring mentari yang turun menuju peraduan.
Mula-mula warnanya kuning keemasan hingga berpendaran jadi jingga.
Beberapa rekan kemudian bersiap untuk bersampan.
KOMPAS/SRI REJEKI
Bekas kebakaran hutan yang terlihat saat melintas di Sungai Bulan,
Kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah.
Dibantu
seorang nelayan yang duduk di bagian belakang, sampan kami melaju
menuju horizon yang merah membara, lantas mengelilingi sebagian lintasan
danau. Suasananya begitu sepi tetapi damai.
Riuh orang yang menunggu di saung tepi danau semakin sayup. Hanya tersisa bunyi serangga dan kecipak air tersibak laju sampan.
Selepas
bersampan, sebagian mencoba berenang di danau air hitam ini. Air hitam
yang jika didekati berwarna coklat kemerahan ini merupakan air gambut
yang berasal dari pelapukan bagian-bagian tanaman selama jutaan tahun.
Ketika menyentuh kulit, air terasa dingin dan segar. Warga setempat percaya, air gambut bisa menyembuhkan luka pada kulit.
Acara
berenang harus diakhiri setelah gelap menyungkup bumi. Tetapi tak apa
karena telah menanti di meja-meja gazebo sepiring sop udang. Kuahnya
yang berbumbu bawang merah, bawang putih, jahe, dan kemiri itu terasa
segar dan gurih.
Hari belum berakhir karena telah menanti sepak
bola api di lapangan desa. Tradisi ini sudah berlangsung turun-temurun
di Katingan.
KOMPAS/SRI REJEKI Sepak bola api di Desa Jahanjang, Kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah.
Ketika
ada warga meninggal dunia, selama tiga malam jenazahnya akan
disemayamkan di rumah duka. Sebagai ”pengisi waktu”, para pelayat
memainkan sepak bola api di dalam rumah duka.
Bola terbuat dari
kelapa utuh yang sebelumnya direndam di dalam minyak tanah selama
setengah hari. Agar tidak terluka bakar, di sekujur tubuh pemain
dilulurkan minyak kelapa yang sebelumnya diberi mantra. Para pemain
berdoa sebelum memulai pertandingan.
”Ada satu lagi rahasianya,
pemain pantang mengeluh. Tidak boleh mengatakan ’aduh’ atau ’aku
terbakar’. Nanti dia akan merasa sakit betulan,” kata Yanto (45),
pelatih tim sepak bola api.
Di Katingan sudah jarang sepak bola
api dimainkan. Hanya tinggal di Desa Jahanjang yang dipertunjukkan. Itu
pun di saat khusus, seperti peringatan Hari Kemerdekaan atau Hari
Pahlawan. ”Terakhir saya lihat dimainkan di Baun Bango tahun 1985,” ujar
Yanto.
Baun Bango adalah desa yang menjadi ibu kota Kecamatan
Kamipang dan salah satu desa dalam simpul ekowisata Kamipang. Jaraknya
30 menit dengan speed boat dari Jahanjang. Di Baun Bango yang
ditonjolkan adalah seni budaya.
Misalnya, tamu yang datang akan
disambut dengan tradisi potong pantan. Baun Bango menjadi pintu gerbang
simpul ekowisata yang juga meliputi desa lainnya, seperti Desa Tumbang
Bulan dengan Sungai Bulan yang dipenuhi kera bekantan pada sore hari,
Desa Karuing dengan wisata orangutan, serta Desa Jahanjang.
Tradisi
potong pantan dikenal di lingkungan suku Dayak. Tamu sebelumnya diolesi
bedak di pipi kanan dan diminta meminum arak yang kali ini diganti
sirup leci.
KOMPAS/SRI REJEKI Tradisi potong pantan di Desa Baun Bango, Kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah.
Tamu
harus memotong kayu pohon nyamu yang diletakkan melintang pada semacam
gapura yang dihias janur kelapa. Ini sebagai simbol persyaratan tamu
diizinkan masuk.
Setelah itu, tamu akan mengikuti ritual tumpang
tawar sebagai tolak bala. Air daun pandan dicipratkan ke wajah dengan
bantuan daun lanjuang.
Sementara bulu burung enggang digunakan
sebagai alat untuk menyaputkan minyak dan telur ke dahi. Lantas semua
menari dalam lingkaran.
Nantinya, pulang pun akan melewati Baun
Bango dan jangan lupakan untuk membeli buah tangan berupa amplang,
kerupuk bulat yang terbuat dari olahan daging ikan pipih, gabus, atau
toman. (Sri Rejeki)