Asap mengepul
dari pembakaran mengirim pesan dan sensasi kelezatan sate. Sembari
menunggu sate matang, pramusaji menyuguhkan nasi putih, sambal kecap,
sambal kacang, potongan sayur tomat dan kol, serta jeruk peras hangat.
Tak
lama kemudian, dia kembali dengan membawa selusin sate yang masih
mengepulkan asap. Bunyi peletikan seperti minyak panas saat bertemu air
terdengar rapat dari atas piring.
Yang paling menggoda tentu saja
sate buntel. Bukan saja karena namanya yang memang mengandung misteri,
melainkan juga bentuknya yang mencuri perhatian. Bentuknya kembung
ditopang empat tusuk sate sebagai pegangan.
Kulit luarnya
bertekstur mirip sate lilit dari Bali, hanya saja ini lebih tambun.
Ketika ditekan, satenya agak empuk, seperti menyisakan sedikit rongga di
dalamnya.
Begitu digigit, ternyata terdapat serpihan daging
kambing yang dicincang lembut bercampur berbagai bumbu. Sate buntel
memberi sensasi gurih sekaligus manis.
Istilah ”buntel” berasal
dari bahasa Jawa yang berarti bungkusan atau buntalan. Ini merujuk pada
bentuk sate yang berisi daging dibungkus lemak tipis.
Kecap istimewa
Sambal kecap sate Kardjan ini
istimewa karena tidak langsung dari botol. Pemilik warung mengolah lagi
kecap tersebut dengan cara yang dirahasiakan untuk mendapatkan cita rasa
lezat yang berbeda dengan sate lain.
Memang rasa sambal kecapnya lebih gurih dari kecap biasa. Begitu pula dengan kecap yang dioleskan ke sate sebelum dibakar.
Sate
buntel juga nikmat saat disantap berselang-seling dengan sate kambing
yang tak kalah gurihnya. Sate kambing Kardjan berbahan khusus: daging
dari paha kambing sehingga minim lemak.
Sate Kardjan sebenarnya
menyediakan beragam sate lainnya, seperti sate sapi dan sate ayam. Juga
beragam sop, tongseng, dan gulai. ”Tapi, yang banyak dicari itu sate
buntel dan sate kambing,” kata Sri Karsini (78), anak Kardjan.
”Setiap
ke sini, saya selalu pesan sate buntel soalnya di tempat lain di
Bandung tidak ada. Saya suka karena lembutnya itu,” kata Ema Rasiama
(53), yang saat itu datang bersama anaknya, Indri (19). Mereka memesan
sate buntel dan sate kambing.
Sate Kardjan sebenarnya berada di tepi anak sungai di Jalan Pasir
Kaliki, di seberang Hotel Hilton. Dari Hilton terlihat jelas spanduk
warna hijau bertuliskan ”Sate Kardjan”.
Warung Sate Kardjan mulai
berdiri sejak 1925 di Klaten, Jawa Tengah, oleh Kardjan. Pada 1960,
Kardjan pindah ke Bandung dan meneruskan usahanya dengan menjual sate,
gulai, dan tongseng.
”Awal mulanya sate disajikan cuma pakai
bumbu kecap saja karena sate khas Jateng hanya bumbu kecap,” kata Wulan
(41), cucu Kardjan, yang kini mengelola Sate Kardjan di Bandung.
Setahun
kemudian, Kardjan menyediakan sambal kacang di samping sambal kecap.
Ini untuk memberi pilihan kepada pelanggannya sekaligus sebagai bentuk
penyesuaian dengan lidah orang Bandung.
Mereka sering menanyakan
sambal kecap saat membeli sate Kardjan. Pelanggan pun terus bertambah
sehingga Kardjan menambah pula menu-menu lain.
Sate Kardjan terus
berkembang dan membuka beberapa cabang. ”Di Paskal (Hyper Square), kami
mencoba jualan sate dengan suasana baru dan konsep yang lain.
Alhamdulillah bisa berjalan,” kata Wulan. Konsep baru yang dimaksud
adalah gaya restoran yang lebih modern.
Wulan menjelaskan, dalam sehari, Sate Kardjan di Pasir Kaliki
menghabiskan 1.000-2.000 tusuk. Pelanggannya tidak hanya orang lokal,
tetapi juga pelancong dari luar negeri. ”Orang-orang Malaysia senang
banget sate buntel, sate kambing, dan nasi goreng kambing,” kata Wulan.
Wulan
menjelaskan, resep sate buntel dia warisi dari ibunya yang didapat dari
kakeknya, Kardjan. Sate buntel berupa daging kambing yang digiling,
dibumbui, lalu dibungkus menggunakan lemak tipis.
Lemak tipis
atau gajih itu diambil dari bagian perut kambing. Saat dibakar, minyak
gajih tersebut merasuk ke dalam daging menambah rasa gurih.
Sebenarnya, apa bumbu yang dicampur ke dalam daging itu?
”Sebut saja bumbunya rahasia, warisan nenek moyang, he-he-he,” kata Wulan.
Bumbu
sate buntel Kardjan mungkin membuat penasaran pembelinya. Akan tetapi,
semua itu menjadi tidak penting lagi ketika sate buntel sudah tersaji.
Bukannya lebih baik menikmati kelezatannya daripada memikirkan bumbu di dalamnya yang masih menjadi teka-teki? Krees.... (Mohammad Hilmi Faiq)
Editor | : I Made Asdhiana |
Sumber | : Harian Kompas |