Sate Ponorogo, dari emperan jadi langganan presiden
Selasa,2015-06-30,07:56:52
ilustrasi
(Berita Dunesia) Dinding rumah makan Tukri Sobikun penuh foto orang-orang penting, di
antaranya Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono dan keluarga serta
Presiden Joko Widodo juga bersama keluarga.
Rumah makan khusus sate ayam Ponorogo itu memajang foto tokoh-tokoh
nasional seperti Aburizal Bakrie, Gubernur Jawa Timur Soekarwo, mantan
Kepala Polri Jenderal Polisi (Pur) Bambang Hendarso Danuri dan sejumlah
pejabat lokal. Ada juga foto artis Ahmad Dhani dan Uya Kuya.
Barisan foto itu menandakan bahwa mereka pernah datang mencicipi sate khas Kota Reog itu.
"Pak SBY dua kali makan di sini bersama keluarganya. Kalau Pak
Jokowi satu kali sebelum menjadi Presiden dan satu kali saat menjadi
Presiden. Pak Aburizal Bakrie dulu malah bawa rombongan dan mendirikan terop di luar sana," kata Siti Amini (65), pemilik rumah makan sate ayam Tukri Sobikun kepada Antara.
Ia
mengatakan Eddhy Baskoro Yudhoyono, anak Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), malah hampir setiap hari singgah ke warungnya saat musim kampanye
pemilu beberapa tahun lalu.
Amini mengaku punya kesan tersendiri dengan SBY dan Ny. Ani Yudhoyono karena sempat berkomentar mengenai satenya.
"Waktu
itu Ibu Ani bilang ke saya rasanya top. Pak SBY saat dari kamar mandi
ketemu ibu-ibu yang bekerja di sini juga berkomentar bahwa sate di sini
memang top. Rasanya senang dan terharu, bapak-bapak pejabat itu mau
datang ke sini dan terkesan dengan sate ayam Ponorogo," tuturnya.
Ia bercerita, SBY dan keluarga bisa menghabiskan sampai 5.000 tusuk
sate saat mampir ke restorannya. Itu karena banyak anggota pasukan
pengamanan dan para pejabat yang ikut menikmati makanan khas itu dan
membawanya pulang untuk oleh-oleh.
Amini mengaku tidak pernah membayangkan usaha yang dia rintis
bersama sang suami, Tukri Sobikun, menjadi besar dan terkenal.
Tukri dan Amini memulai usaha sate ayam dengan berjualan di emper toko yang disebutnya "perko".
Pasangan Tukri dengan Amini membuka usaha sate ayam tahun 1975.
Kala itu penjual sate biasanya memikul dagangannya keliling dari kampung
ke kampung, Tukri dan Amini memilih berjualan di emperan toko.
Menempati satu tempat ternyata menguntungkan bagi Tukri dan Amini
karena para pembelinya mudah mencari makanan tersebut. Kala itu sudah
banyak pejabat yang menjadi pelanggan, seperti dari kepolisian dan
instansi pemerintah.
Pada 1995, ia membuka warung kecil-kecilan di Jalan Lawu Gang I
Nomor 43 K Kota Ponorogo dan pada puluhan tahun kemudian tempat itu
menjadi rumah makan besar dan dikunjungi banyak tokoh penting. Usaha itu
kini mampu menyerap 25 tenaga kerja.
Pengunjung rumah makan sate Tukri Sobikun sangat ramai, khususnya
saat liburan tiba. Sebelum puasa lalu, pengunjung juga ramai dan kembali
agak sepi saat puasa. Pengunjung akan kembali ramai saat Lebaran dan
sesudahnya.
Amini menuturkan dia menggunakan ayam potong dengan berat di atas
tiga kilogram untuk membuat sate. Ayam yang terlalu muda, menurut dia,
kurang baik untuk sate karena mudah hancur.
Pada hari biasa
rumah makannya menghabiskan dua kuintal atau sekitar 75 ayam dan dari
Jumat hingga Minggu bisa menghabiskan 125 ekor ayam dalam sehari.
"Saat menjelang puasa atau Lebaran, biasanya menghabiskan 150 ekor
ayam per hari. Dalam 15 ekor ayam biasanya menjadi 1.000 tusuk. Setiap
10 tusuk harganya Rp21.000 ditambah lontong menjadi Rp25 ribu," katanya.
Ia bersyukur bisa menyekolahkan anak-anaknya dan membeli beberapa rumah dari hasil usahanya.
Dari empat anaknya, hanya satu orang yang meneruskan usaha itu dan kini membuka rumah makan di Madiun.
Meskipun kini usahanya sudah maju, ia tidak pernah merahasiakan
resep masakannya. Karena itu ada sejumlah orang yang kini juga berjualan
sate ayam Ponorogo di Jakarta dan kota besar lainnya setelah belajar
darinya.
Sebelum dibakar, daging ayam yang telah ditusuk dilumuri campuran
bumbu berupa bawang merah, bawang putih, laos, gula, garam, ketumbar,
jinten, kemiri dan daun salam.
Ia mewarisi resep sate ayam itu dari leluhurnya dan tidak mengubahnya sama sekali.
Amini yakin konsistensinya menggunakan resep kuno itu merupakan salah satu kunci yang membuat masakannya disukai pelanggan.
Sementara sambalnya, menurut dia, dibuat dari campuran kacang tanah, cabai, garam dan gula.
Kunci sukses lainnya, kata Amini, adalah jujur kepada para pelanggan.
Sejak dulu ia tidak pernah menggunakan bumbu penyedap atau pengawet yang ia sebut "parmolin", yang maksudnya formalin.
Ia juga tidak pernah rewel dengan ulah pelanggan, misalnya minta
tambah sambal. Selain itu dia menerapkan sistem bonus kepada pembelinya.
Misalnya setiap membeli 200 tusuk akan ditambah delapan tusuk dan satu
lontong. Setiap pembelian 2.000 tusuk mendapat bonus 80 tusuk dan 10
lontong.
"Pembeli biasanya bilang, ini (bonus) yang saya cari, selain
rasanya yang enak. Jadi prinsip saya adalah melayani pembeli dengan rasa
senang. Saya tidak pernah rekenan (hitung-hitungan) dengan permintaan pembeli," katanya.
Amini bercerita pernah diajak pejabat Kabupaten Ponorogo untuk
berjualan di areal Taman Mini Indonesia Indah mendampingi pertunjukan
Reog. Tidak lebih dari satu jam 5.000 tusuk sate ayamnya dan 500 lontong
langsung habis.
Mengenai keawetan sate buatannya, ia menyebut hanya sekitar dua
hari, namun jika dimasukkan ke kulkas bisa mencapai lima hari.
Namun ia mengaku bersyukur karena barang dagangannya selalu habis dan tidak pernah sampai harus masuk ke lemari pendingin.
Setelah sate ayam Ponorogo sekarang terkenal. Kini di gang
tempatnya berjualan sudah banyak bermunculan sate ayam serupa sehingga
dikenal sebagai kampung sate.
Namun Amini tidak pernah merasa tersaingi dengan hadirnya usaha-usaha itu.
Bahkan, ketika permintaan sedang banyak, ia mengarahkan pembeli ke warung-warung di sekitarnya agar juga laku.
Ia
juga mengaku tidak pelit untuk berbagi ilmu dengan orang lain serta
bersedekah. Semua itu menjadi kunci sukses usahanya yang bertahan hingga
kini.
Budayawan asal Ponorogo Dr Sutejo MHum mengatakan bahwa usaha sate
ayam di Jalan Lawu Ponorogo itu merupakan potensi besar untuk wisata
kuliner. Apalagi Ponorogo menjadi jalur persinggahan jika seseorang
hendak berwisata ke Pacitan.
Selain di Jalan Lawu, di daerah lain juga banyak rumah makan atau
warung ayam sate ayam, seperti di Setono dan Purbosuman. Di tempat
lainnya ada di pertigaan Jalan Gajah Mada, Jalan Jendral Soedirman, dan
Jalan Soekarno Hatta.
"Ponorogo ini kaya akan wisata kuliner, selain sate. Ada juga sate
gule Ponorogo yang belum dikenal banyak orang selain sate ayam, ada
pecel khas Ponorogo juga," ujar dosen di Sekolah Tinggi Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Ponorogo itu.