LABUAN Bajo identik dengan laut dan langitnya
yang biru. Biru yang akan membara saat matahari terbit di pagi hari dan
terbenam di kala senja.
Tapi, di dataran tinggi Manggarai, tak
jauh dari Labuan Bajo, ada caci dan tete alu yang juga tak kalah indah
dan mengundang rasa penasaran.
Pagi masih muda ketika kami
berlompatan memasuki mobil yang akan membawa kami keluar dari hotel di
kawasan Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Di luar, titik-titik embun masih bergelayut di antara dedaunan yang bergoyang diterpa kesiur angin pagi. Dingin dan sepi.
Hari
itu, kami tak berencana bermain air dan menyaksikan ombak yang
bergulung di pantai dengan pasirnya yang lembut di telapak kaki.
Rencana
kami pagi itu adalah melihat Labuan Bajo dari sisi lain, yaitu dari
ketinggian 624 meter di atas permukaan laut, tepatnya di Desa Liang
Ndara, Kecamatan Mbeliling, Manggarai Barat.
Lokasinya tak
terlalu jauh. Dari Labuan Bajo, Liang Ndara ditempuh selama 45 menit
sampai satu jam. Aksesnya pun cukup mudah karena melewati jalan raya
Trans-Flores-Labuan Bajo-Ruteng yang kondisinya cukup mulus.
Hanya
15 menit terakhir mendekati Liang Ndara, jalanan yang semula lurus dan
mulus berubah berkelok-kelok karena melewati punggung pegunungan yang
makin lama makin tinggi.
KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH Senja di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Pemandangan
dari dataran tinggi ini menyajikan wajah Manggarai yang selama ini
tersembunyi oleh keindahan pantai dan lautnya yang biru di Labuan Bajo.
Di
Manggarai, Liang Ndara dikenal sebagai desa wisata. Desa yang terdiri
atas tiga kampung, yaitu Kampung Melo, Cecer, dan Mamis, ini sejak 13
tahun lalu sudah dibuka untuk kunjungan wisatawan baik lokal maupun
asing.
Pesona alam dataran tinggi Liang Ndara yang masih alami menjadi daya tarik yang membuat banyak wisatawan datang berkunjung.
Lima
tahun terakhir, Liang Ndara semakin dikenal dengan berbagai aktivitas
budaya yang disuguhkan. Dua jenis kesenian tradisional yang populer
adalah caci dan tete alu.
Inilah yang ingin kami nikmati selama
berada di Manggarai bersama tim Wondernesia, program pariwisata yang
ditayangkan di saluran berbayar TLC, dipandu Nadya Hutagalung.
Caci adalah tarian khas rakyat Manggarai yang ditujukan sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh warga.
Caci
ditarikan oleh laki-laki dengan iringan musik berupa gong dan kendang
yang dimainkan oleh perempuan atau bisa juga laki-laki.
Sekilas
tarian ini terkesan seram dan sedikit kejam. Ada aura pertarungan yang
meruap di antara kedua penari yang berhadapan memegang cambuk untuk
saling memukul dan tameng untuk berlindung.
KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH Para penari caci mempersiapkan diri.
Suara
cambuk yang diputar-putar di udara, lalu dilecutkan kepada lawan,
sungguh membuat dada kami yang menyaksikan berdegup kencang. Apalagi
jika cambuk itu mengenai kulit yang dengan serta-merta mengucurkan
darah. Aduhhh....
Namun, di balik kengerian itu ada keindahan
yang tersaji karena di dalam caci terkandung tiga unsur seni. Selain
unsur tari, para penari juga berlagu yang dimaknai sebagai lantunan doa
kepada pencipta dan roh leluhur.
Pada kostum yang dikenakan para
penari, khususnya di bagian kepala, ada lima sudut yang melambangkan
simbol keyakinan hidup orang Manggarai.
Rumah sebagai tempat
perlindungan, kampung sebagai pusat persatuan, air sebagai sumber
kehidupan, kebun sebagai sumber kesejahteraan, dan gerbang sebagai
penjaga atau pengawal kampung.
Paduan gerak tubuh, lagu, dan seni
busana yang indah itu menyajikan kesatuan yang padu, yang akan
menghapus kesan seram dan kejam pada caci.
Di antara awan putih
yang berarak di langit biru Liang Ndara, para penari caci menampilkan
keluwesan dalam gerakan-gerakan mereka yang gagah.
Ungkapan syukur
Kristoforus
Nison, Ketua Sanggar Riang Tana Tiwa yang berpusat di Kampung Cecer,
mengatakan, dahulu caci digelar setelah panen sebagai ungkapan rasa
syukur kepada para leluhur dan pencipta semesta.
KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH Luke Latty dari Wondernesia menjajal caci di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT.
Di dalamnya terdapat filosofi untuk menghormati dan memuji para leluhur dan pencipta atas kesehatan dan keberhasilan panen.
”Caci
digelar saat orang Manggarai membuka kebun. Dengan caci yang diwarnai
tabuhan gong dan kendang, roh leluhur yang baik akan hadir, sementara
roh yang jahat akan pergi,” ujar Kristoforus.
Dalam
perjalanannya, caci kemudian dilakukan saat upacara keagamaan dan
upacara kenegaraan, salah satunya untuk menyambut wisatawan yang datang
berkunjung ke Liang Ndara seperti kami.
Tak kalah seru dengan
caci adalah tete alu, tarian atau bisa juga disebut permainan
tradisional yang dimainkan oleh sekelompok orang, biasanya berjumlah
delapan orang.
Cara memainkannya adalah dengan bergerak di antara
bilah-bilah bambu yang digerakkan dengan cepat. Tete alu adalah tarian
untuk muda-mudi, biasa dimainkan kala bulan purnama tiba.
Dibutuhkan
keterampilan dan konsentrasi tinggi bagi penari agar kaki tak terjepit
bilah bambu. Demikian pula dengan orang yang bertugas menggerakkan
bilah-bilah bambu.
Menjajal tete alu, entah sebagai penari atau penggerak bilah bambu, sama sekali bukan perkara mudah bagi pemula seperti kami.
Menikmati
tete alu dan memandang Labuan Bajo dari ketinggian sungguh menghadirkan
perasaan berbeda. Ada kegembiraan yang menular saat menyaksikan para
penari bergerak lincah dan penggerak bilah-bilah bambu berkonsentrasi
menggerakkan bilah-bilah bambu yang menimbulkan irama ritmis.
KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH Para ibu yang memainkan kendang mengiringi para penari caci beraksi.
Sayang,
waktu kami terlalu sempit. Kalau saja cukup waktu, masih banyak pesona
alam yang ingin kami nikmati di Liang Ndara, seperti menyusuri Hutan
Mbeliling yang menyimpan keanekaragaman hayati dan satwa endemik. Ada
burung nuri, gagak flores, kehicap flores, dan serindit flores.
Atau
bisa juga tinggal sejenak di Kampung Cecer, menikmati waktu yang lesap
di antara alam yang sunyi. Menyaksikan aktivitas sehari-hari masyarakat,
memetik kopi, memecah kemiri, dan menumbuk kopi manggarai agar siap
diseduh untuk menemani detik yang berganti menit tanpa ketergesaan.
Labuan Bajo memang tak hanya laut dan langit biru.... (Dwi As Setianingsih)