(Berita Dunesia) Jakarta - Pakar linguistik dari Universitas Indonesia,
Prof. Dr. Multamia Lauder, mencatat ada 25 bahasa di Indonesia yang
berstatus hampir punah.
"Kebanyakan di daerah Maluku dan Papua," kata Multamia saat ditemui di Kupang.
Bahasa
yang berstatus hampir punah itu adalah Aputai, Burumakok, Duriankere,
Emplawas, Kaibobo, Kanum, Badi, Kayupulau, Kembra dan Kwerisa.
Selain
itu, bahasa Lengilu, Lolak, Melayu Bacan, Mandar, Massep, Mlap, Morori,
Namla, Paulohi, Petjo, Ratahan, Salas, Taje, Tobati dan Woria juga
berstatus hampir punah.
Bahkan ada 13 bahasa yang sudah punah
karena sudah tidak ada lagi penuturnya, yaitu bahasa Hoti, Hukumina,
Hulung, Loun, Mapia, Moksela, Naka'ela, Nila, Palumata, Saponi, Serua,
Ternateno dan Te'un.
Bahasa yang telah punah itu pun mayoritas berada di Maluku dan Papua.
Menurut
Multamia, masalah bahasa terjadi di Indonesia bagian timur karena
begitu banyak bahasa yang ada di sana namun hanya sedikit penuturnya.
"Ada bahasa yang penuturnya hanya enam, 50 atau 500," kata Multamia.
Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan Indonesia bagian barat, sedikit bahasa tapi banyak penutur.
Bahasa Jawa misalnya, memiliki 80 juta penutur.
Multamia juga mencatat ada delapan bahasa yang berstatus dormant, tidak aktif.
"Bahasa
itu masih ada tapi bukan untuk komunikasi sehari-hari. Penuturnya tidak
ada, tapi masih terpakai sebagai bahasa untuk identitas atau upacara
adat."
Bahasa dormant di Indonesia adalah Dusner, Iha, Javindo, Kayeli, Nusa Laut, Onin dan Tandia.
Indonesia memiliki 706 bahasa dan 266 diantaranya berstatus bermasalah.
Menurut
pengajar di program studi Indonesia ini, perlu ada program yang
komprehensif dari pemerintah untuk menyelamatkan bahasa yang bermasalah
agar tidak ikut punah seperti 13 bahasa tersebut.
Perlu ada kerja
sama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah setempat dan lembaga
pendidikan misalnya universitas setempat untuk mendatangi tiap daerah
dan melihat permasalahan yang ada.
Masyarakat pun perlu dilibatkan dalam pelestarian bahasa karena mereka yang menggunakannya.
Sejauh ini, ada les untuk beberapa bahasa yang bermasalah karena masyarakat tidak ingin bahasa tersebut mati.
Tetapi, untuk kasus bahasa yang memiliki sangat sedikit penutur, pelestarian sangat sulit dilakukan.
Selain itu, pelestarian bahasa pun memerlukan banyak pihak yang terlibat dan juga dana.
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2015