Manusia–manusia Rigid, Akan Sulit Sendiri
Senin,2015-08-03,08:49:33
Rhenald Kasali.
(Berita Dunesia) Dalam perjalanan pulang ke Jakarta dari
Frankfurt, duduk di sebelah saya salah seorang CEO perusahaan terkemuka
Indonesia. Pria berkebangsaan India yang sangat berpendidikan itu
bercerita tentang karir dan perusahannya.
Gerakan keduanya (karir
dan perusahaannya) begitu lincah. Tidak seperti kita, yang masih rigid,
terperangkap pola lama, seakan-akan semua layak dipagari, dibuat sulit.
Perusahaan sulit bergerak, impor-ekspor bergerak lambat, dwelling time tidak konsisten. Sama seperti karier sebagian kita, terkunci di tempat. Akhirnya hanya bisa mengeluh.
Pria
itu dibesarkan di India, kuliah S-1 sampai selesai di sana, menjadi
alumni Fullbright, mengambil S-2 di Amerika Serikat, lalu berkarir di
India sampai usia 45 tahun. Setelah itu menjadi CEO di perusahaan
multinasional dari Indonesia.
Perusahaannya baru saja mengambil
alih sebuah pabrik besar di Frankfurt. Namun karena orang di Frankfurt
masih kurang yakin dipimpin eksekutif dari emerging countries,
ia membujuk pemasoknya dari Italia agar ikut memiliki saham minoritas di
Frankfurt. Dengan kepemilikan itu, pabrik di Frankfurt dikelola
eksekutif dari Eropa (Italia).
Solved!
Itu adalah gambaran dari agility. Kelincahan bergerak yang lahir dari fenomena borderles world.
Anehnya juga kita mendengar begitu banyak orang yang cemas menghadapi
perubahan. Dunia sudah lebih terbuka, mengapa harus terus merasa sulit?
Susah di sini, bisa bergeser ke benua lain. Tak ada lagi yang sulit. Ini
tentu harus disyukuri.
Serangan Tenaga Kerja
Belum
lama ini kita membaca berita tentang kegusaran seseorang yang
tulisannya diforward kemana-mana melalui media sosial. Mulai dari
berkurang agresifnya angka pertumbuhan, sampai serangan tenaga kerja
dari China.
Berita itu di-forward kesana – kemari,
sehingga seakan-akan tak ada lagi masa depan di sini. Yang mengherankan
saya, mengapa ia tidak pindah saja bekerja dan berimigrasi ke negara
yang dipikirnya hebat itu?
Bekerja atau berkarir di luar negri
tentu akan menguntungkan bangsa ini. Pertama, Anda akan memberi
kesempatan kerja pada orang lain yang kurang beruntung. Dan kedua, Anda
akan mendapatkan wisdom, bahwa hal serupa, komplain yang sama ternyata juga ada di luar negri.
Rekan
saya, CEO yang saya temui di pesawat Lufthansa tadi mengeluhkan tentang
negerinya. “Orang Indonesia baik-baik, bekerja di Indonesia
menyenangkan. Kalau diajari sedikit, bangsa Anda cepat belajar. Pikiran
dan tindakannya terstruktur. India tidak! Di India politisi selalu
mengganggu pemerintah. Irama kerja buruh tidak terstruktur. Pertumbuhan
ekonomi terlalu cepat, membuat persaingan menggila. Rakyatnya makin
konsumtif dan materialistis.” Kalimat itu ia ucapkan berkali-kali.
Susah? Kerja Lebih Profesional!
Di Italia, guide
saya, seorang kepala keluarga berusia muda mengantar saya melewati
ladang-ladang anggur di Tuscany, menolak menemani makan siang yang
disajikan mitra kerja Rumah Perubahan di rumahnya yang indah. “Biarkan
saya hanya makan salad di luar. Saya dilarang makan enak saat
mengemudi,” ujarnya.
Kepada putra saya ia mengajari. "Saat
bekerja kita harus bekerja, harus profesional, gesit dan disiplin. Cari
kerja itu sulit, mempertahankannya jauh lebih sulit. Kita harus lebih
kompetitif dari orang lain kalau tetap ingin bekerja," ujarnya.
Di dalam vineyard-nya yang indah, rekan saya menyajikan aneka makanan Italia yang lezat, lengkap dengan demo masak dan ritual mencicipi wine
yang dianggap sakral. Di situ mereka berkeluh kesah tentang
perekonomian Eropa yang terganggu Yunani belakangan ini. Dan lagi-lagi
mereka menyebutkan kehidupan yang nyaman itu ada di Pulau Dewata, Bali
dan Pulau Jawa.
Ketika saya ceritakan bahwa kami di Indonesia
juga sedang susah, dia mendengarkan baik-baik. “Dari dulu kalian terlalu
rendah hati, selalu merasa paling miskin dan paling susah. Ketika
kalian sudah menjadi bangsa yang kaya, tetap merasa miskin. Tetapi, saya
tak pernah melihat bangsa yang lebih kaya, lebih merdeka, lebih
bahagia, dari pada Indonesia.” Saya pun terdiam.
Di Singapura,
saya mengirim berita tentang komplain terhadap masalah dollar AS dan
ancaman kesulitan pada rekan lain yang sudah lima tahun ini berkarir di
sana. Ia pun menjawab ringan, “Suruh orang-orang itu kerja di sini
saja.”
Tak lama kemudian ia pun meneruskan. “Kalau sudah kerja di sini baru tahu apa artinya kerja keras dan hidup yang fragile.”
Saya jadi teringat curhat habis-habisan yang ia utarakan saat saya berobat ke negeri itu. “Mana bisa konkow-konkow, main Facebook, nge-tweet
di jam kerja? Semua harus disiplin, berani maju, kompetitif, dan siap
diberhentikan kalau hasil kerja buruk. Di negeri kita (Indonesia), saya
masih bisa bersantai-santai, karyawan banyak, hasil kerja tidak penting,
yang penting bos tidak marah saja,” ujarnya.
Saat itu ia tengah menghadapi masa probation atau percobaan.
Sungguh khawatir kursinya akan direbut pekerja lain dari India, Turki,
dan Prancis yang bahasa Inggrisnya lebih bagus, dan ritme kerjanya
lebih cepat. Ternyata bekerja di negeri yang perekonomiannya bagus itu
juga tidak mudah. Padahal di sana mereka lihat kerja yang enak itu ya di
sini.
Bangsa Merdeka Jangan Cengeng
Saya makin terkekeh membaca berita yang disebarluaskan para haters
melalui grup-grup WA, bahwa pemerintah sekarang tidak perform,
membiarkan sepuluh ribuan buruh dari China merangsek masuk ke negri ini.
Sungguh, saya tak gusar dengan serangan tenaga kerja itu. Yang membuat
saya gusar adalah kalau hal serupa dilakukan bangsa-bangsa lain terhadap
tenaga kerja asal Indonesia di luar negri.
Penyebar berita
kebencian itu mestinya lebih rajin jalan-jalan ke luar negri. Bukankah
dunia sudah borderless, tiket pesawat juga sudah jauh lebih murah. Cara
menginap juga sangat mudah dan murah. Kalau saja ia rajin, maka ia akan
menemukan fakta-fakta ini: Sebanyak 300.000 orang tenaga kerja Indonesia
bekerja di Taiwan. 250.000 lainnya di Hongkong. Lebih dari 100.000
orang ada di Malaysia. Selain itu, perusahaan-perusahaan kita sudah
mulai mengepung Nigeria, Myanmar, dan Brazil. Bahkan juga canada dan
Amerika.
Jadi bagaimana ya? Kok baru dikepung 10.000 saja kita sudah rasis? Ini tentu mengerikan.
Lalu
dari grup WA para alumnus sekolah, belakangan ini saja juga mendapat
kiriman teman-teman yang kini berkarir di manca negara. Delapan keluarga
teman kuliah saya ada di Kanada, beberapa di Jerman dan Eropa, puluhan
di Amerika Serikat, dan yang terbanyak tentu saja di Jakarta. Semakin
banyak orang kita yang berkarier bebas di mancanegara. Karir mereka
tidak rigid.
Jadi, janganlah kita cengeng. Beraninya
hanya curhat dan komplain, tapi tak berbuat apa-apa. Bahkan beraninya
hanya menyuarakan kebencian. Atau paling-paling cuma mengajak berantem
dan membuat akun palsu bertebaran. Kita juga jangan mudah berprasangka.
Syukuri
yang sudah didapat. Kecemasan hanya mungkin diatasi dengan berkomitmen
untuk bekerja lebih jujur, lebih keras, lebih respek, lebih profesional,
dan memberi lebih.
Kalau Anda merasa Indonesia sudah “berbahaya” ya belain dong. Kalau Anda merasa tak senang dengan orang lain, ya sudah, pindah saja ke luar negri. Mudah kok. Di sana Anda akan mendapatkan wisdom,
atas kata-kata dan perbuatan sendiri. Di sana kita baru bisa merasakan
kayanya Indonesia. Di sana kita baru tahu bahwa tak ada hidup yang
mudah.
Prof. Rhenald Kasali adalah
Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria
bergelar PhD dari University of Illinois ini juga banyak memiliki
pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK
sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah
Perubahan, yang menjadi role model dari social business di kalangan para
akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan
kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Merubah Mental Passengers Menjadi Drivers.