Kekeringan di Sikka, sebagian warga minum carian pepohonan
Kamis,2015-08-06,09:04:47
(Berita Dunesia) Kupang, NTT - Ini bukan berita tentang latihan bertahan hidup di hutan (
jungle survival)
melainkan kenyataan dalam kekeringan ganas di Kabupaten Sikka, NTT.
Sebagian warga di kabupaten di Pulau Flores itu bahkan sudah
memanfaatkan pepohonan di sana, hanya sekedar untuk minum.
Tanpa
makanan padat, manusia bisa bertahan dalam bilangan pekan, tapi tanpa
cairan memadai, manusia dewasa yang semula sehat wal afiat akan mati
dalam bilangan hari saja. Apalagi kalau itu manula dan anak-anak.
Kemarau
panjang kali ini memang lebih panas dari sekedar musim kemarau biasa,
dipicu juga El Nino yang menyergap sebagian permukaan daratan dan
samudera Bumi.
Adalah warga di Desa Iligai,
Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, yang terpaksa mengkonsumsi air dari
pepohonan untuk bertahan hidup itu.
"Sejumlah warga di Dusun Baoletet di Desa Iligai, Kecamatan Lela,
terpaksa menyadap air dari pohon pisang dan pohon jenis peri," kata
Kepala Desa Iligai, Valentino Mayong, dihubungi dari Kupang, Senin.
Menurut dia, pepohonan pisang dan pohon peri itu diyakini masyarakat
di Pulau itu dapat menghasilkan air yang banyak sehingga dimanfaatkan
untuk masak dan minum. Mata air yang ada di sana sangat jauh pun sudah
kering.
Menurut praktik latihan bertahan
hidup, pohon-pohon tertentu memang bisa di-"ambil" airnya untuk
dikonsumsi manusia, di antaranya bagian dalam pohon pisang, batang pohon
pandan hutan, dan sebagian keladi. Syaratnya, cairan pepohonan itu
bebas dari kandungan getah beracun atau pemicu alergi.
Caranya,
pohon itu ditebas dan cairannya ditampung di wadah yang disiapkan atau
diarahkan langsung ke mulut. Tentu jangan dibayangkan airnya mengucur
deras seperti kita membuka keran air, melainkan menetes pelan-pelan...
tes... tes... tes...
Untuk memenuhi ember ukuran 10 liter bisa belasan jam dan memerlukan berbatang-batang pohon pisang. Harus sabar dan sabar...
Pemerintah
setempat bukan berpangku tangan; salah satunya mengerahkan truk-truk
tangki air bersih ke pelosok-pelosok di kabupaten itu. Apa daya, uang
juga langka di sana sehingga air bersih seharga Rp500.000 sampai
Rp1.000.000 per tangki pun masih jauh dari jangkauan tangan sebagian
besar warga setempat.
Alternatif lain memakai
sepeda motor mendatangi mata-mata air yang masih lumayan basah, itupun
paling dekat lima kilometer dari perkampungan. Yang tidak punya sepeda
motor, berjalan kaki berlangit sinar Matahari yang memancar ganas, yang
juga membuat tanah atau batu yang diinjak kaki pun ikut-ikut panas.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sikka, Silvanus Tibo, yang dihubungi terpisah, mengakui hal itu.
"Kondisi seperti itu terjadi bukan hanya di Kabupaten Sikka, tetapi
hampir merata di kabupaten lain di NTT karena iklim dan cuaca serta
waktunya (musim kemarau) memang harus terjadi demikian, sehingga tidak
perlu panik dan tidak perlu pula dipertentangkan," katanya.