Kalau iseng bertanya pada sepuluh orang saja yang kita temui acak di Bukittinggi, Sumatera Barat: Apa ciri khas kota dingin yang pernah jadi ibukota negara di masa Pemerintahan DaruratRepublik Indonesia tahun 1948 itu? Jam Gadang.
Pasti itu jawabannya. Penanda waktu, penanda pusat kota, dan lokasi berfoto paling kondang se-Sumatera Barat, juga kebanggaan seluruh warganya. Umur Jam Gadang tahun ini tepat 190 tahun!
Pagi 26 Maret 2016. Hari masih pukul 8.00. Pelataran Jam Gadang (Besar) dan Pasar Ateh (Atas) di Bukittinggi belum ramai. Beberapa toko pakaian muslim dan mukena khas yang ada di lantai dasar menghadap patung sepasang harimau Sumatera, belum lagi buka. Tetapi, suami isteri itu sudah terburu-buru mengemasi dagangannya, aneka kaos dengan gambar logo Jam Gadang Bukittinggi.
Untuk menggelar dagangannya, mereka memang telah menyiapkan meja lebar yang rendah, seukuran tinggi orang berjongkok, yang dilengkapi roda-roda besi. Kapan saja, meja dagangan ini bisa dikemasi dan berpindah dengan gampang.
“Memang seperti inilah cara kita berdagang. Sudah lima tahun ini, tak gampang berdagang kaos suvenir di sini. Masih pagi, tapi polisi sudah minta kita pergi,” kata An (48).
Miris melihat nasib pedagang kaki lima yang biasa berjualan bebas di pelataran Jam Gadang ini. Tetapi di sisi lain, banyak yang bersyukur karena Jam Gadang kembali terlihat bentuk aslinya, menara jam yang indah, penanda waktu yang menjadi saksi sejarah karena usianya sudah amat tua: 190 tahun.
Jam Gadang kembali megah dan anggun, karena pelatarannya kini telah bersih dari pedagang kaki lima makanan dan pakaian, tempat sampah dan taman pepohonannya dirawat baik, juga kursi-kursi betonnya kembali dicat.
Taman Sabai Nan Aluih -tempat tegaknya Jam Gadang- juga Istana Bung Hatta dan Pasar Ateh, seperti menjadi kesatuan yang indah dibingkai oleh panorama Ngarai Sianok di kejauhan.
Sejarah Jam Gadang
Berada persis di tengah kota, bangunan ini semacam tugu dengan tinggi 26 meter yang denah bangunan dasarnya berukuran 13x4 meter berdisain khas Eropa-zaman kolonial. Jam bulat berdiameter 80 cm itu dipasang di puncak tugu, di keempat sisi pucuk bangunan. Jadi, ada empat bulatan jam.
Tugu yang berpucuk bulatan jam dengan dasar putih dan jarum jam klasik warna hitam ini, unik, karena angka jamnya berhuruf Romawi, tetapi penunjuk angka empatnya tertulis “IIII”, bukan “IV”.
Masih misteri kenapa angka itu ditulis demikian, dan tak ada pula yang ingin mengubahnya. Sepertinya, biarlah itu jadi ciri khasnya.
Beberapa tulisan sejarah mencatat tugu Jam Gadang dibangun tahun 1826 setelah Ratu Belanda menghadiahi mesin jam ini kepada Controleur atau Sekretaris Kota Bukittinggi waktu itu, Rook Maker.
Bentuk atap tugu Jam Gadang telah mengalami tiga perubahan. Pada zaman Belanda, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan di atasnya. Pada waktu Jepang berkuasa, atapnya diganti berbentuk seperti rumah-rumah Jepang.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, bentuk atapnya diubah menjadi bergonjong empat seperti atap rumah adat Minangkabau dan bermotif pucuk rebung. Bentuk yang dipertahankan sampai saat ini.
Dulu, wisatawan seringkali naik ke menaranya, namun kini hanya mereka yang telah minta izin tertulis, bisa naik dan memandang keindahan kota Bukittinggi dari atasnya. Mungkin mempertimbangkan bangunan ini sudah berumur tua.
Waktu kebakaran besar di Pasar Ateh beberapa puluh tahun lalu, polisi Bukittinggi naik ke atas menara Jam Gadang untuk memantau keadaan dan mencari asal api. Lalu, sejak lama setiap bulan Ramadhan, dari Jam Gadang bersuara sirine penanda waktu berbuka puasa.
Favorit Turis Berfoto dan Berbendi
Keindahannya inilah yang menjadi magnet hadirnya ratusan pengunjung dari pagi, siang, petang, hingga malam. Berfoto dengan latar belakang Jam Gadang jadi wajib bagi setiap orang yang datang ke sini. Favorit juga untuk arena bermain keluarga dengan anak balita pada pagi sampai petang hari.
Turis yang tak ingin kehilangan momen, sering memilih tinggal di berbagai penginapan di sekitarnya –apakah itu homestay, motel, hostel sampai hotel bintang lima- yang banyak tersebar di kawasan sekitarnya.
Mulai dari sepanjang jalan Laras Datuk Bandaro sampai Jalan A, Rivai dan jalan-jalan kecil sekitar Kampung Cino dan Jembatan Limpapeh, kita dengan mudah memilih tempat penginapan. Guest House seharga Rp100.00 sampai hotel berbintang lima dengan tarif Rp 1jutaan, kini semakin banyak.
Apalagi sejak beberapa bulan lalu di pelataran Jam Gadang ada pertunjukan berbagai tari dan kesenian khas Minang setiap malam Minggu. Lengkaplah sudah keramaian seputar Jam Gadang.
Satu lagi sasaran kegemaran wisatawan di sini adalah naik Bendi. Kereta berkuda yang dikemudikan sais ini di daerah Jakarta dan sekitarnya disebut Delman. Bendi banyak berjajar di depan pelataran Jam Gadang, atau di jalan menurun arah Panorama Ngarai Sianok.
Bendi di Bukittinggi sebenarnya alat transportasi yang digunakan sejak jauh sebelum Indonesia merdeka. Saisnya sebagian besar adalah juga pemilik kuda yang tinggal di sekitar Pacuan Kuda Bukit Ambacang.
Untuk para turis, sangat menyenangkan naik Bendi melihat atau menuju tempat wisata lain di sekitarnya seperti Lubang Jepang, Benteng Fort de Kock, Panorama Ngarai Sianok atau Rumah Kelahiran Proklamator Hatta.
Berapa tarifnya? Kalau Anda bisa berbahasa Minang, Anda akan segera diberi tarif lokal Rp.20.000. Tetapi kalau di musim liburan ditambah kita berbahasa Indonesia, maka tarifnya bisa sampai Rp.50.000.
Jam Kembar
Satu lagi cerita yang hanya dibicarakan dari mulut ke mulut oleh orang-orang tua di Bukittingi adalah fakta bahwa menara jam dengan jam bermesin yang sama persis dengan Jam Gadang, hanya dibuat dua di seluruh dunia.
Anda bisa menebak di mana menara jam kembaran Jam Gadang terletak? Anda benar. Kembarannya adalah menara jam Big Ben, ikon ibukota Inggris, London.
Editor | : Wisnubrata |