Ilmuwan Muda Indonesia berusaha menumbuhkan kecintaan anak-anak pada sains, antara lain dengan membawa planetarium ke tempat-tempat umum dan sekolah. (IMI)
(Berita Dunesia) Jakarta - Berapa banyak anak Indonesia yang bercita-cita
menjadi ilmuwan, peneliti atau bahkan astronot? Dan berapa yang berusaha
mencapainya dengan mempelajari sains di perguruan tinggi?
Sepertinya
tidak banyak. Data pemerintah tahun 2013 menunjukkan hanya tiga persen
mahasiswa yang memilih bidang sains dari 19.000 program studi di
perguruan tinggi negeri dan swasta.
Firly Savitri termasuk di antara mereka yang mencintai sains dan bercita-cita menjadi ahli astrofisika atau kosmologi.
Namun
cintanya sempat mati suri. Ketertarikannya pada sains jadi hilang saat
mendapat pelajaran ilmu pengetahuan secara membosankan di bangku
sekolah. Tak ada penelitian seru di laboratorium sains yang menggelitik
rasa ingin tahu murid.
Cita-citanya menjadi ilmuwan kandas.
Namun pemilik gelar sarjana psikologi dari Universitas Padjajaran dan
gelar master administrasi bisnis dari Institut Teknologi Bandung itu tak
ingin anak Indonesia mengalami hal yang sama.
"Kalau saya tidak
jadi ilmuwan, saya ingin ada orang yang jadi ilmuwan," kata Firly, CEO
Ilmuwan Muda Indonesia (IMI), lembaga bisnis bidang edukasi sains yang
mengalokasikan setidaknya setengah dari keuntungan untuk kegiatan
sosial yang berhubungan dengan sains.
Lewat IMI, yang dia bentuk
tahun lalu, dia ingin menumbuhkan kecintaan generasi muda pada sains,
menebarkan benih-benih cinta sains pada anak agar Indonesia bisa
memiliki lebih banyak ilmuwan, yang akan memimpin pengelolaan sumber
daya dan memajukan negeri.
Bersama-sama mereka ingin menyajikan sains dengan cara kreatif dan menyenangkan untuk menarik minat anak-anak.
Menurut
IMI metode paling efektif dalam belajar sains adalah melihat dan
merasakannya sendiri. IMI memulainya lewat planetarium dan laboratorium.
Planetarium bergerak
IMI
mengawali langkah dengan mengajak anak Indonesia "ke luar angkasa"
dengan membawa planetarium bergerak ke tempat umum dan sekolah.
Firly mengatakan Indonesia hanya punya empat planetarium, yakni di Jakarta, Surabaya, Yogjakarta dan Kutai.
Keterbatasan itu membuat banyak anak belum bisa merasakan sensasi menonton benda-benda langit di sana.
IMI
berusaha masuk dengan membawa planetarium menyambangi anak-anak di
kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Pekanbaru.
IMI juga menghadirkan planetarium untuk menginspirasi anak-anak di panti asuhan dan yayasan anak jalanan.
Planetarium bergerak menyajikan film-film yang diproyeksikan secara 360 derajat ke permukaan
dome setengah lingkaran yang membuat penonton serasa benar-benar berada di angkasa luar.
Film tersebut biasa ditayangkan di planetarium negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Jepang.
Anak-anak yang melihat film di planetarium itu biasanya terkesima dan takjub dengan apa yang mereka lihat.
"Mereka bisa bilang 'ini hal terkeren yang pernah aku lihat' sampai tidak mau keluar dari
dome," ujar Firly, ibu dari satu anak.
"Dan alat ini terbukti bisa membuat anak jatuh cinta pada sains," kata dia.
Dia
berharap kehadiran planetarium bergerak bisa menumbuhkan calon-calon
astronot, meneruskan prestasi Pratiwi Sudarmono, astronot Indonesia yang
hampir berangkat ke luar angkasa sebagai bagian dalam misi Wahana
Antariksa NASA, yang sayangnya dibatalkan karena pesawat ulang-alik
Challenger meledak dan membuat program pesawat ulang-alik Amerika
dihentikan sementara.
Kendala
Salah satu kendala IMI dalam mengadakan planetarium bergerak adalah penyediaan barang-barang yang harus diimpor.
IMI
mengimpor planetarium bergerak, yang sejak dua dekade lalu biasa
digunakan sebagai alat peraga pendidikan di negara maju, dari negara
seperti Amerika Serikat, Australia dan India.
Film untuk planetarium juga harus diimpor. Firly mengatakan biaya impor satu film minimal ribuan dolar AS.
Selanjutnya
IMI berniat membuat film untuk planetarium sendiri lewat kerja sama
dengan lulusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang bisa
membuat film
full dome.
Khusus untuk film produksi
sendiri, tema yang diangkat tidak hanya astronomi, tetapi ilmu lain yang
dekat dengan Indonesia seperti yang berkaitan dengan kemaritiman.
"Planetarium bisa memutar film apa saja, yang penting formatnya memang untuk
dome. Kami ingin membuat film
marine biology (biologi kelautan), jadi masuk planetarium seperti berada di bawah laut," papar dia.
Laboratorium dalam kotak
IMI
juga membuat Lab in A Box (LAB), kotak berisi laboratorium praktis yang
bahan-bahannya bisa didapat dari rumah, misalnya saja cuka untuk asam
nitrat.
LAB yang masih dalam bentuk prototipe itu dibuat bekerja
sama dengan perancang produk ITB. Laboratorium mini ini dirancang
sekeren mungkin agar anak tak sabar bereksperimen.
"Jadi tidak seperti kardus," katanya.
Isi
laboratorium itu tidak disesuaikan dengan kurikulum sekolah. Yang
pasti, setiap anak dapat memanfaatkannya untuk melakukan eksperimen
sains.
IMI berharap LAB bisa menjadi solusi dari ketiadaan laboratorium di sekolah dasar negeri Indonesia.
"Seratus persen SD negeri di Indonesia tidak punya lab," ujar Firly.
Biaya
membangun satu laboratorium bisa sangat besar, bisa berkali-kali lipat
dari harga LAB yang di bawah Rp10 juta menurut Firly.
Laboratorium
mini versi murah buatan IMI diharapkan dapat memberikan kesempatan
kepada anak-anak untuk menikmati keasyikan bereksperimen di laboratorium
sejak kecil.
"Di laboratorium, kita belajar cara reaksi kimia dengan mengalaminya. Pasti bosan kalau hanya belajar dengan rumus," kata dia.
Firly
menambahkan IMI punya banyak rencana di masa depan, termasuk di
antaranya membuat mainan dengan tema profesi di bidang sains, seperti
ahli biologi laut.
IMI juga ingin membuat aplikasi permainan
bertema sains dan sedang mengembangkan pertunjukan musikal untuk anak
bertema edukasi sains yang akan diunggah di YouTube agar bisa diakses
secara cuma-cuma.
"Seperti Hi 5! tapi tentang sains," kata Firly,
serta menambahkan IMI akan bekerja sama dengan teater musikal Jakarta
Broadway untuk mewujudkan rencana tersebut.
Editor: Maryati
COPYRIGHT © ANTARA 2015