(Berita Dunesia) Jakarta - Seiring datangnya musim hujan, cerita kebakaran
hutan dan lahan yang terjadi tahun 2015 seakan hanyut terlupakan.
Padahal, kebakaran yang melanda Kalimantan, Sumatera, Papua, Sulawesi,
Bali dan Nusa Tenggara, Jawa, serta Maluku itu setara dengan 32 kali
wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Kini, meskipun bencana asap sudah usai dan api telah padam, tidak
membuat kehidupan masyarakat kembali tenteram. Termasuk warga di Desa
Henda, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Henda merupakan salah satu desa yang mengalami kebakaran hutan cukup
parah. Api melalap sekitar 600 hektare lahan di desa tersebut yang
sebagian besar adalah milik warga.
Saat ini, penduduk yang rata-rata merupakan petani karet dan sawit itu
masih meratapi lahan mereka yang hangus. Bayangan, panen yang saat itu
sudah di depan mata pupus bersama rusaknya pohon-pohon karet dan sawit
mereka.
Begitu pun yang dialami Giber Ibal. Tatapannya kosong mengingat tiga hektar kebun karetnya yang tinggal kenangan pahit.
"Sampai sekarang saya tidak mau menengok kebun karet saya. Sakit hati ini rasanya," kata petani berusia 57 tahun itu.
"Lahan saya sudah dua tahun berturut-turut terbakar," tambahnya.
Peristiwa itu semakin menyesakkan dada, kata Giber, karena beberapa pohon karetnya sudah berusia hingga enam tahun.
Sebelum kebakaran, bapak enam anak itu tinggal menikmati hasil sadapan getah karetnya.
"Saya sudah bisa menjual 20 kilogram per hari dari sadapan getah karet.
Sekarang semua punya saya terbakar. Sakit hati saya, pusing. Tetapi saya
mau teriak untuk apa," ungkap Giber.
Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan biaya kuliah putri bungsunya
yang sedang menempuh akademi keperawatan di Jakarta, Giber melakukan
kerja serabutan. Ia mendapat upah dari menyadap karet milik warga yang
lahannya selamat dari si jago merah. Upah tersebut tentu saja masih
belum cukup sehingga ia harus mencari tambahan lain.
"Saya mencari bibit pohon belangiran di Sebangau untuk saya jual lagi.
Tetapi saya harus mencari bibit yang banyak untuk menutupi biaya bensin,
sedangkan harga bibitnya hanya Rp500," tutur Giber.
"Saya juga menanam padi, hanya itu saja hiburan saya dengan mengurus padi," tambahnya.
Ia masih berharap pemerintah mau memberikan bantuan baik dalam bentuk
bibit ataupun dana yang sampai saat ini belum pernah ia terima. Padahal,
lanjut Giber, ia bersama warga lain hanya korban dari oknum tidak
bertanggung jawab yang sengaja membakar hutan.
"Semoga ada bantuan dari pemerintah. Saya tidak ada masukan sama sekali.
Kalau anak saya telepon rasanya sedih, saya tidak ada daya di sini,
karet sudah tidak ada," tutur Giber dengan suara lirih.
Trauma
Bayangan api masih menghantui Emmi, ibu tiga anak yang telah kehilangan enam hektar kebun sawit miliknya.
"Sampai sekarang saya masih trauma kalau dengar suara seperti api
terbakar. Masih terbayang-bayang api yang besarnya sampai setinggi pohon
itu," kata Emmi sampai menunjuk pohon setinggi sekitar sepuluh meter.
Emmi mengaku tidurnya sering tidak nyenyak karena dibayangi api.
Keresahannya berlipat ganda karena mengingat kerugian akibat 700 pohon
sawitnya yang telah terbakar.
"Tinggal dua hektar kebun sawit saya yang selamat. Padahal sudah
waktunya akan panen, uangnya mau saya pakai juga untuk biaya masuk
kuliah anak saya. Tetapi sekarang enggak tahu gimana," tuturnya.
"Tidak tahu rugi berapa, saya beli satu bibit pohon saat itu masih
sekitar Rp35.000an, belum untuk pupuk sama perawatan. Tetapi saya
bersyukur kebun karet saya tidak ikut terbakar," tambah perempuan
berusia 42 tahun itu.
Saat terjadi kebakaran hutan, Emmi ikut berjaga di kebunnya sampai tidur
di sana.
"Saya tidur di bawah pohon. Saya juga beri upah orang Rp200 ribu untuk
jaga kebun. Tetapi tetap terbakar padahal ada tiga pompa air," jelasnya.
Menurut Emmi, meskipun sudah terbiasa dengan kebakaran hutan yang
terjadi hampir setiap tahun, namun kebakaran tahun ini merupakan
kenangannya yang paling buruk.
"Di sini setiap tahun kebakaran tetapi tidak seperti kemarin. Tahun ini,
kami semua menangis. Sedih sekali karena habis semua," kata Emmi.
Menanti langkah pemerintah
Dari total hutan dan lahan yang terbakar sebesar 2.089.911
hektare, dampak ekonomi akibat kebakaran dan kabut asap tahun 2015
diperkirakan mencapai Rp200 trilliun, mulai dari kerugian ekonomi,
tanaman yang terbakar, air yang tercemar, emisi, korban jiwa serta
pembatalan penerbangan.
Kepala Urusan Umum Aparat Pemerintah Desa Henda, Wideni, mengatakan
tersisa 40 persen lahan di desa tersebut yang tidak terbakar.
"Kawasan yang terbakar tahun ini sebagian besar terjadi di sebelah barat
desa yang merupakan tempat perkebunan masyarakat. Pendapatan per
keluarga otomatis menurun dratis. Dalam sejarah, ini adalah kebakaran
hutan paling parah di Kalimantan Tengah," jelas Wideni yang satu hektare
kebun karetnya siap panen juga terbakar.
Greenpeace menemukan 46 persen atau 51 ribu titik api berada di lahan
gambut. Di Kalimantan Tengah, sumbangan kebakaran terbesar datang dari
konsesi kelapa sawit.
Kebakaran hutan yang merajalela selama tiga bulan itu sulit dipadamkan
karena baik di Kalimantan maupun Sumatera, titik api berada di lahan
gambut dengan kedalaman tiga sampai lima meter di bawah tanah.
Sementara itu, pembakaran lahan gambut sangat signifikan melepas emisi
gas rumah kaca karena menyimpan jumlah karbon terbanyak di dunia.
Pengeringan lahan gambut dengan pembangunan kanal memicu mudahnya area
tersebut terbakar.
Indonesia telah kehilangan 31 juta hektar hutan hujan sejak 1990, atau
hampir setara dengan luas negara Jerman. Menurut Greenpeace, Indonesia
memegang kunci atas pengurangan emisi gas rumah kaca global dengan cara
paling murah dan efektif, yaitu perlindungan dan pemulihan hutan-lahan
gambut.
Pada pidatonya di COP 20, Paris, Presiden Joko Widodo menyampaikan
komitmen untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan gambut yang terus
berulang setiap tahun yang menjadikan Indonesia sebagai negara pelepas
emisi karbon terbanyak dalam beberapa bulan terakhir ini.
"Greenpeace mendorong pemerintah untuk melindungi hutan dan lahan gambut
secara menyeluruh tanpa melihat kedalaman. Seluruh wilayah gambut tidak
boleh digunakan untuk budidaya perkebunan. Gambut kaya akan karbon dan
riskan sekali kalau kondisinya kering karena gambut yang kering itu
merupakan bahan bakar yang paling bagus untuk api," kata Manajer
Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Kiki Taufik.
"Kalau pembangunan di wilayah gambut tidak dihentikan, maka masalah
kebakaran tidak akan selesai sampai kapan pun. Karena tanpa ada yang
membakar, gambut bisa terbakar," tambahnya.
Kepala Greenpeace Indonesia Longgena Ginting menambahkan meskipun
Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan pelarangan izin baru di atas
lahan gambut, hal tersebut harus didukung dengan tinjauan ulang secara
terbuka atas izin lama yang telah dikeluarkan.
Aturan perlindungan lahan gambut, lanjutnya, harus dikukuhkan dalam
bentuk peraturan yang lebih kuat seperti undang-undang. Namun, karena
pembentukan undang-undang membutuhkan waktu yang lama, Greenpeace
menilai peraturan pemerintah cukup realistis.
"Nanti tidak ada izin baru tetapi izin lama masih berjalan akan tumpang
tindih. Perlu ada review terbuka dan penentuan kebijakan mana izin yang
boleh dilakukan dengan persyaratan ketat dan mana izin yang harus
dicabut demi lingkungan, demi gambut," ujar Longgena.
Sementara itu, Staf Monitoring Lapangan Save Our Borneo Habibi
mengatakan aturan perlindungan gambut harus ditindaklanjuti dengan
peraturan daerah.
"Kalau aturan tidak ditindalanjuti dengan perda akan sulit, harus ada
turunannya karena pemerintah daerah sering kurang memahami atau
merespon," kata Habibi.
Peringatan untuk pemerintah
Pada tanggal 3 Desember lalu, Greenpeace Indonesia dan sejumlah
media melakukan pemantauan kondisi hutan dan lahan di Kalimantan Barat
dan Kalimantan Tengah dari udara. Berdasarkan pantauan tersebut, tampak
jelas sisa-sisa kebakaran hutan dan lahan yang sebagian besar terjadi di
atas lahan gambut.
Pohon yang hangus atau tumbang menjadi pemandangan miris. Bentangan
kanal membelah lahan gambut seperti terpotong menjadi beberapa bagian.
Kanal-kanal tersebut lah yang membuat lahan gambut menjadi kering
sehingga lebih mudah lagi terbakar.
Dari udara juga terlihat terdapat aktivitas ekskavator di atas sisa
lahan terbakar yang letaknya berdampingan dengan konsesi perkebunan
misalnya di kawasan Kebun Raya dan Ketapang.
Menanggapi hal tersebut, Manajer Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia
Kiki Taufik menekankan pemerintah tidak boleh bergerak lamban.
"Tadi terlihat lahan yang terbakar kebanyakan berdekatan persis dengan
perkebunan. Tanpa menuduh kita bisa lihat ada indikasi perkebunan itu
mau perluas wilayahnya," tutur Kiki.
"Ini menjadi peringatan karena pemerintah telah mengatakan lahan yang
terbakar tidak boleh dibudidayakan dan harus direstorasi," tambah Kiki.
Adanya aktivitas ekskavator tersebut, lanjut Kiki, merupakan tindakan pengabaian dari instruksi pemerintah.
"Maka pemerintah harus cepat memetakan mana wilayah terbakar dan harus
segera melakukan rehabilitasi. Kami tunggu komitmen pemerintah dan dari
pantauan ini nanti bisa kami evaluasi lagi, apakah direhabilitasi
menjadi hutan atau kebun," ujar Kiki.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Rusmadya Maharuddin menambahkan
saat musim hujan merupakan waktu yang tepat untuk bergerak cepat
mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan pada masa mendatang sehingga
kebakaran hutan yang telah melepas emisi karbon sebesar 1,1 Gigatton Co2
eq itu tidak akan terulang lagi.
"Sekarang ini tantangan Indonesia adalah melawan lupa. Jangan sampai
karena musim hujan, persoalan terlupakan. Kawasan yang telah terbakar
akan berpotensi terbakar lagi karena tingkat kekeringan gambutnya.
Seharusnya di musim hujan ini, sudah harus waspada daerah yang
berpotensi kebakaran," jelas Rusmadya.
Editor: Fitri Supratiwi
COPYRIGHT © ANTARA 2015